top of page

Zero-Carbon, Inclusive by Design: Masa Depan Infrastruktur Telekomunikasi untuk Smart City yang Berkelanjutan

Paradoks Kota Pintar


Gambar 1. Ilustrasi Smart City

Sumber: Canva


Di tengah euforia pembangunan smart city yang digadang-gadang sebagai solusi urban masa depan, ada ironi yang sering luput dari perbincangan: infrastruktur telekomunikasi pendukungnya justru berpotensi menjadi bom waktu ekologis. Laporan The Shift Project (2019) menyebutkan bahwa digitalisasi menyumbang sekitar 4% dari total emisi karbon global—lebih tinggi dari industri penerbangan—dan angkanya bisa melonjak hingga tiga kali lipat pada tahun 2030 jika tidak dikendalikan.


Pertanyaannya: bagaimana kita bisa menyebut sebuah kota “pintar” jika listrik untuk menjalankan jutaan sensor IoT, kamera pengawas, dan pusat data-nya masih bergantung pada batubara?


Di Indonesia, ambisi smart city telah diterjemahkan dalam berbagai proyek seperti Jakarta Smart City atau Bandung Command Center. Sayangnya, pendekatannya masih didominasi oleh kecepatan layanan dan efisiensi administratif, bukan keberlanjutan. Padahal, studi World Economic Forum (2022) mengingatkan bahwa jaringan 5G yang tidak dirancang dengan prinsip efisiensi energi bisa meningkatkan beban listrik nasional hingga 20% di Asia Tenggara. Sementara itu, ketimpangan akses digital makin terasa: ketika Jakarta mulai uji coba 5G, wilayah terluar Indonesia masih berjuang mendapatkan sinyal 4G yang stabil (Kemenkominfo, 2023).


Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan kegagalan visi. Konsep smart city kerap dirayakan sebagai simbol kemajuan, tetapi tanpa pendekatan berkelanjutan, ia hanya akan menjadi “kota pintar” yang haus energi dan eksklusif. Artikel ini mengajak kita melihat paradoks tersebut dan menawarkan pendekatan alternatif: infrastruktur telekomunikasi untuk smart city harus dibangun dengan prinsip zero-carbon, inclusive by design di mana inovasi berjalan beriringan dengan keadilan sosial dan transisi energi.



Digitalisasi dan Krisis Iklim: Kenyataan yang Tak Bisa Diabaikan


Infrastruktur digital adalah tulang punggung kota pintar. Setiap layanan cerdas, mulai dari manajemen lalu lintas berbasis AI hingga sistem parkir otomatis, bergantung pada koneksi internet, sensor, cloud computing, dan pusat data. Namun, infrastruktur ini tidak bebas jejak karbon. Pusat data global mengonsumsi energi dalam jumlah sangat besar untuk menyimpan dan memproses data, sebagian besar masih dari sumber energi fosil. Menurut IEA (2022), sektor TIK menyumbang sekitar 1,5% dari konsumsi listrik global dan bisa meningkat tajam seiring ekspansi 5G dan IoT. Tanpa perubahan sistemik, digitalisasi justru akan menjadi faktor akselerasi perubahan iklim.



Zero-Carbon: Bukan Sekadar Pilihan, tapi Keharusan


Gambar 2. Ilustrasi Pusat Data Bertenaga Surya atau Angin

Sumber: Canva


Untuk memutus paradoks ini, pendekatan zero-carbon dalam desain infrastruktur TIK menjadi keharusan. Ini mencakup upaya sistematis mengurangi emisi dari seluruh siklus hidup teknologi—dari produksi perangkat keras, pembangunan jaringan, hingga pengoperasian sistem digital kota.


Beberapa strategi utama meliputi:


  • Pemanfaatan Energi Terbarukan: Pusat data dan menara telekomunikasi harus mulai beroperasi dengan energi bersih seperti surya atau angin. Google dan Microsoft telah menjadi pionir dalam membangun green data center dengan efisiensi tinggi dan emisi nol bersih.

  • Desain Hemat Energi: Edge computing dan komputasi awan dapat mengurangi kebutuhan infrastruktur besar yang boros energi. Di sisi lain, perangkat keras harus dirancang lebih efisien dan mudah didaur ulang untuk mengurangi limbah elektronik.

  • Kebijakan Insentif dan Regulasi: Pemerintah dapat menerapkan standar keberlanjutan bagi penyedia layanan digital, termasuk pelaporan emisi, efisiensi daya perangkat, dan standar bahan baku ramah lingkungan.



Inclusive by Design: Menjembatani Ketimpangan Digital



Masalah keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tapi juga keadilan sosial. Infrastruktur telekomunikasi yang eksklusif akan memperdalam kesenjangan—baik antarwilayah maupun antar kelompok sosial. Pendekatan inclusive by design menuntut agar infrastruktur TIK sejak awal dirancang dengan memperhatikan hak, kebutuhan, dan keterbatasan semua kelompok masyarakat.


Langkah-langkah yang bisa ditempuh meliputi:

  • Pemerataan Akses Digital: Program perluasan jaringan ke daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) tidak bisa hanya menjadi jargon. Perlu ada investasi konkret dan kemitraan antara negara, swasta, dan komunitas lokal untuk membangun konektivitas dasar.

  • Universal Design: Platform layanan publik digital harus ramah bagi semua kalangan—termasuk penyandang disabilitas, lansia, dan masyarakat dengan literasi digital rendah. Ini mencakup desain antarmuka yang inklusif, navigasi sederhana, dan fitur aksesibilitas.

  • Literasi dan Partisipasi Digital: Literasi digital bukan hanya soal mengoperasikan gawai, tapi memahami hak digital, keamanan data, dan cara berpartisipasi dalam tata kelola kota digital. Program literasi harus disertai ruang partisipasi yang nyata bagi warga untuk menyuarakan kebutuhan dan kontrol atas teknologi kota.



Belajar dari Dunia: Praktik Baik dan Relevansi untuk Indonesia


Beberapa kota dunia sudah mulai menerapkan pendekatan zero-carbon dan inklusif dalam pengembangan smart city.


  • Barcelona menerapkan prinsip tech sovereignty, memastikan data warga dikelola secara transparan dan inklusif, sembari mengurangi emisi dari infrastruktur digital melalui penggunaan energi terbarukan.

  • Amsterdam mengembangkan ekosistem circular digital infrastructure, meminimalkan limbah elektronik dan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam setiap tahapan pengadaan teknologi kota.


Indonesia memiliki peluang untuk mengambil pelajaran dan berinovasi sesuai konteks lokal. Dengan bonus demografi dan pertumbuhan infrastruktur digital yang pesat, Indonesia bisa menjadi pelopor smart city berbasis transisi energi dan keadilan digital—asal visi dan kebijakan diarahkan secara berani dan progresif.



Penutup: Mewujudkan Kota yang Benar-Benar "Pintar"


Gambar 3. Ilustrasi Sustainable Smart City

Sumber: Canva


Smart city sejati bukan hanya kota yang penuh sensor dan jaringan supercepat. Ia adalah kota yang cerdas secara ekologi, adil secara sosial, dan maju secara teknologi. Paradigma zero-carbon, inclusive by design adalah langkah menuju masa depan infrastruktur telekomunikasi yang benar-benar mendukung pembangunan kota berkelanjutan. Bukan sekadar mempermudah kehidupan sebagian, tetapi membangun masa depan untuk semua.

Dengan kesadaran kritis, kebijakan berani, dan kolaborasi multisektor, kita dapat menghindari jebakan “kota pintar semu” dan benar-benar membangun kota yang pintar—secara utuh.


Korespondensi Penulis

Greeny Tria Clara / triaclarag@gmail.com


Daftar Literatur:


 
 
 

Comments


© 2025 by Pusat Studi Infrastruktur Indonesia

bottom of page