Sejak awal 1990-an, konsep ‘Social Determinant of Health’ diperkenalkan oleh Dahlgren dan Whitehead (1991) untuk menggambarkan bagaimana faktor sosial menjadi penentu kesehatan seseorang, yang dimulai sejak lahir, tumbuh, hidup, bekerja, dan menua, serta ditentukan oleh sistem yang dibangun untuk mengatasi penyakit. World Health Organization (WHO) memperkuat konsep tersebut dan secara formal mendefinisikan kesehatan sebagai kondisi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial dan tidak terbatas pada tidak adanya penyakit atau disabilitas tertentu (WHO, 2008). Merujuk pada kedua definisi tersebut, maka kondisi kesehatan seseorang dapat sangat dipengaruhi oleh aspek sosial, ekonomi, politik, lingkungan alami dan terbangun dimana masyarakat tinggal.
Tantangan kesehatan global pada abad ke-21, seperti non-communicable diseases (NCDs), kecelakaan lalu lintas, obesitas, yang dikombinasikan dengan pertumbuhan populasi, urbanisasi yang pesat, dan perubahan iklim semakin mendesak kebutuhan untuk aksi pencegahan daripada mengobati. Pengambilan keputusan tentang pembangunan perumahan, penyediaan infrastruktur air, energi, transportasi, layanan publik, dan kesehatan akan sangat berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan, terutama bagi kawasan perkotaan yang diproyeksikan akan memiliki lebih banyak penduduk lansia. Merujuk pada rekomendasi WHO, aspek kesehatan dan kesetaraan dalam mengakses kesehatan diharapkan dapat masuk sebagai pertimbangan yang krusial dalam perencanaan dan tata kelola perkotaan. WHO juga menggarisbawahi kebutuhan perencanaan kota yang terintegrasi antar sektor dan antar level pemerintahan, khususnya pada sektor perumahan dan transportasi.
Perencanaan perumahan dan permukiman dapat berdampak pada peningkatan maupun penurunan kesehatan publik. Studi kasus kota-kota di Amerika menunjukkan keterkaitan antara perencanaan ruang dan infrastruktur telah berdampak pada kesehatan masyarakatnya. Pada abad ke-19, penataan ruang untuk memisahkan permukiman dan industri, serta perbaikan fasilitas sanitasi menjadi upaya untuk menanggulangi wabah penyakit menular di kota-kota dengan dominasi aktivitas industri (Corburn, 2007). Penelitian terbaru oleh Mansour et al. (2022) mengklasifikasikan tiga elemen dasar perumahan yang sehat, yaitu keterjangkauan (affordability), keamanan (security), dan keserasian (suitability). Ketiganya dirinci ke dalam beberapa aspek yang dapat menjadi referensi bagi perencanaan perumahan di masa depan. Pertama, dalam hal keterjangkauan yang meliputi keterjangkauan harga rumah dan biaya untuk utilitas dasar (listrik, air). Kedua, aspek keamanan mencakup kepastian hak dan kepemilikan, terhindar dari diskriminasi, dan penggusuran. Terakhir, dalam hal keserasian meliputi kondisi fisik rumah, aspek keruangan, akses universal, berketahanan iklim, dan mengedepankan desain ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Selanjutnya, untuk sektor transportasi, desain kota yang ramah pejalan kaki dan pengguna sepeda akan menghasilkan beberapa dampak positif bagi beberapa sektor, yaitu kesehatan, manajemen lalu lintas, lingkungan, dan ekonomi. Dalam hal kesehatan, mempromosikan perjalanan aktif akan meningkatkan aktivitas fisik yang akhirnya dapat menurunkan risiko obesitas, penyakit kardiovaskular, hingga diabetes. Desain kota yang mendukung perjalanan aktif (jalan kaki dan bersepeda) juga dapat mendorong terciptanya komunitas masyarakat dan mengurangi potensi isolasi sosial. Salah satu komitmen untuk meningkatkan praktik perjalanan aktif dapat dilihat dari Amerika. Pemerintah pada tahun 2003 mengeluarkan regulasi khusus untuk memastikan kesetaraan hak pejalan kaki dan pengguna sepeda, serta mengalokasikan dana mencapai 350 juta dollar per tahun selama enam tahun untuk mendukung transportasi aktif melalui penyediaan jalur yang aman untuk ke sekolah, jalur sepeda, dan insentif bagi masyarakat untuk meningkatkan aktivitas fisik (Larkin, 2003).
Perwujudan rencana pembangunan kota dan infrastruktur yang terintegrasi dengan baik sangat dibutuhkan untuk mencapai kota yang sehat dan layak huni. Studi kasus yang dilakukan oleh Lowe et al (2013) di Kota Melbourne menyimpulkan bahwa masyarakat kota yang sehat dan perwujudan kota layak huni saling terkait erat. Aspek-aspek dalam social determinants of health saling bertampalan dengan komponen kota layak huni, dengan lingkungan yang berkelanjutan mendasari keterkaitan antara keduanya. Selain aspek perumahan dan transportasi, terdapat sembilan aspek lainnya yang saling bertampalan antara kesehatan dan perencanaan kota, yang meliputi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan, ruang terbuka publik, keamanan dan kriminalitas, kohesi sosial, hiburan dan budaya, ketersediaan makanan, dan lingkungan alami, dapat menjadi referensi bagi perencana kota. Terakhir, dukungan regulasi, tata kelola, dan kerangka kerja teknis bagi aspek-aspek tersebut yang disesuaikan dengan konteks lokal dan kondisi masyarakat setempat juga menjadi faktor kritikal untuk memastikan tercapainya kota yang sehat dan layak huni.
Korespondensi Penulis
Lilik Andriyani / andriyani.lilik@infraindo.org
Comments