Belakangan ini di sosial media muncul lagi berita tentang program Pemerintah Daerah untuk melakukan revitalisasi Kalimalang di Bekasi menyerupai Cheonggyecheon yang ada di Seoul. Sebenarnya tidak hanya di Kalimalang Bekasi, hal serupa ternyata pernah terjadi di beberapa lain di Indonesia yang menyebut bahwa revitalisasi kawasan sempadan sungai dianggap memiliki kemiripan seperti yang dilakukan di Seoul, Korea Selatan.
Apa yang terjadi di Cheonggyecheon?
Sungai Cheonggye atau Cheonggyecheon (청계천) dalam Bahasa Korea, merupakan sungai yang membentang dari timur melalui jantung Kota Seoul. Pada tahun 1958-1977, pemerintah kota membangun jalan arteri dengan lebar 50 meter sepanjang 6 kilometer, dan di tahun 1976 dibangun jalan layang sepanjang 5,9 kilometer di atas jalan arteri untuk melayani meningkatnya kebutuhan mobilitas penduduk menuju pusat Kota Seoul.
Alasan restorasi
Akan tetapi, menutup sungai dengan jalan ternyata menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Perencanaan Kota Seoul kala itu masih berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan dampak ekologis. Pada tahun 1980an muncul kekhawatiran tentang meningkatnya risiko kesehatan dari air yang tercemar di bawah jalan dan polusi udara karena lalu lintas.
Menutup sungai dengan beton tidak hanya menutupi bagian penting dari alur alam di kota, tetapi juga memperburuk kehidupan perkotaan bagi penduduk kota dengan kurangnya ruang terbuka, kualitas udara yang buruk, dan kemacetan lalu lintas yang membuat kawasan tersebut akhirnya tidak menarik bagi penduduk dan pertumbuhan ekonomi dari sektor bisnis.
Pada tahun 2003, pemerintah kota mengumumkan Cheonggyecheon Restoration Project untuk membongkar jalan layang dan memulihkan sungai seperti semula. Wali Kota Seoul saat itu, Lee Myung-Bak, mengatakan “Once the stream is restored, we want this area to stand out as a center of foreign investment. The ultimate goal is to make Seoul a great city.”
Awalnya, proyek ini sangat ditentang oleh pebisnis lokal karena dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi, termasuk biaya proyek yang tinggi dan kemacetan lalu lintas yang ditimbulkan di pusat kota.
Dampak restorasi
Cheonggyecheon Restoration Project juga bertujuan untuk mendorong penggunaan transportasi umum daripada penggunaan kendaraan pribadi, penyediaan ruang terbuka publik yang ramah lingkungan dan berorientasi kepada pejalan kaki. Pada akhirnya proyek ini berkontribusi pada 15,1% peningkatan pengguna bus, 3,3% peningkatan jumlah penumpang subway antara tahun 2003-2008, dan mendatangkan 64.000 pengunjung pada jalan yang direvitalisasi untuk pejalan kaki. Selain itu, juga berkontribusi pada peningkatan kualitas air dan udara yang berimplikasi pada peningkatan kualitas hidup, serta menghubungkan kembali dua bagian wilayah kota yang sebelumnya terpisah oleh infrastruktur jalan.
Selain itu, berdasarkan data Landscape Architecture Foundation menemukan bahwa Cheonggyecheon Restoration Project ini berdampak pada:
Mampu mengendalikan banjir hingga kala ulang 200 tahun yang dapat mempertahankan laju aliran 118 mm/jam.
Meningkatkan tingkat keanekaragaman hayati hingga lebih 600% dari tahun 2003 hingga 2008. Pembangunan perkotaan biasanya mengurangi tingkat keanekaragaman hayati. Ini adalah kasus di mana lebih banyak spesies disambut oleh lingkungan baru.
Mendinginkan lingkungan terdekat dengan suhu 30 hingga 60 lebih dingin daripada di jalan yang berjarak 4-7 blok.
Peningkatan harga properti sebesar 30-50% di sekitar lokasi.
Selama tahun 2002-2003, jumlah bisnis di Cheonggyecheon meningkat sebesar 3,5% atau dua kali lipat tingkat pertumbuhan bisnis di pusat kota Seoul.
Konteks dengan Indonesia
Cheonggyecheon di Seoul sering dijadikan inspirasi untuk proyek revitalisasi sungai di kota-kota Indonesia karena keberhasilannya dalam mengubah sungai yang sebelumnya tertutup dan tercemar menjadi ruang publik yang hijau dan bersih. Pemerintah kota melihat proyek ini sebagai contoh yang bagus untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi banjir, memperbaiki kualitas air, dan menarik wisatawan. Namun, meskipun Cheonggyecheon menjadi inspirasi yang populer, keberhasilan proyek serupa di Indonesia perlu disesuaikan dengan berbagai faktor lokal.
Penyebutan proyek revitalisasi sungai di Indonesia sebagai proyek yang “mirip dengan Cheonggyecheon” sering kali kurang tepat karena ada perbedaan besar dalam histori, tantangan, dan kebutuhan antara Seoul dan kota-kota di Indonesia. Penyebutan ini juga menunjukkan hanya bersifat simbolis dan bukan teknis. Revitalisasi yang hanya berfokus pada estetika, tanpa mempertimbangkan fungsi-fungsi lokal, dapat meminggirkan masyarakat dan budaya setempat.
Penutup
Proyek yang dilakukan di Seoul tersebut karena adanya keresahan dari warga kota dan pemerintah yang menghadapi penurunan kualitas lingkungan semenjak adanya pembangunan jalan layang di tengah kota. Oleh karena itu, pemerintah Seoul mengusulkan untuk mendorong penggunaan transportasi umum daripada penggunaan kendaraan pribadi, penyediaan ruang terbuka publik yang ramah lingkungan dan berorientasi kepada pejalan kaki dengan cara melakukan Proyek Restorasi Cheonggyecheon meskipun terdapat beberapa penolakan dari kalangan tertentu. Pada akhirnya proyek tersebut memang memiliki dampak yang baik pada lingkungan, penurunan polusi udara, dan benefit lain dengan bertumbuhnya potensi wisata pada kawasan tersebut, termasuk juga sebagai upaya pemerintah pada penyediaan ruang terbuka publik yang ramah pada mobilitas aktif dan penggunaan transportasi umum.
Korespodensi Penulis
Yusuf Abdul Kariem/yusufkariem@infraindo.org
Comments