Presiden dan Wakil Presiden ke-8 telah mengumumkan struktur kabinet yang baru yang dinamakan Kabinet Merah Putih, terjadi perubahan nomenklatur kementerian yang bertambah atau berpisah, salah satu yang menarik yaitu pemisahan Kementerian PUPR menjadi Kementerian PU serta Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. Perubahan ini memunculkan banyak pertanyaan: Apakah ini membuka peluang baru atau menghadirkan tantangan baru dalam pembangunan kota?
Di banyak negara, struktur kementerian yang menangani perumahan dan kawasan permukiman berbeda-beda sesuai dengan konteks kebijakan dan kebutuhan masing-masing. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat United States Department of Housing and Urban Development (HUD) yang fokus pada penyediaan perumahan dan peningkatan kawasan perkotaan secara inklusif. Sementara itu, di Singapura, Housing and Development Board (HDB) berperan sangat besar dalam merencanakan dan membangun perumahan terjangkau, dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat untuk memastikan standar kualitas hidup yang tinggi. Di Jerman, tanggung jawab perumahan dan pembangunan perkotaan tersebar di antara pemerintah federal, negara bagian, dan kota-kota yang memberikan otonomi lebih pada wilayah untuk beradaptasi dengan kebutuhan lokal. Pendekatan yang berbeda ini menunjukkan bahwa koordinasi dan kolaborasi antara berbagai sektor menjadi kunci untuk memastikan pembangunan yang efektif.
Struktur kementerian perumahan dan kawasan permukiman ini juga memiliki hubungan yang erat dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 11 yang bertujuan untuk mewujudkan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Penyediaan perumahan layak dan pengembangan kawasan permukiman merupakan komponen inti dari SDG 11. Di berbagai negara, kebijakan kementerian perumahan berperan besar dalam mengatasi permasalahan urbanisasi, kesenjangan akses perumahan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan, sehingga berkontribusi langsung terhadap pencapaian target SDG 11.
Selain itu, pendekatan yang komprehensif dalam pengelolaan perumahan dan kawasan permukiman juga sejalan dengan New Urban Agenda yang menekankan pentingnya perencanaan kota yang berkelanjutan, partisipatif, dan berpusat pada manusia. New Urban Agenda bertujuan untuk menciptakan kota yang inklusif dan berkelanjutan melalui sinergi kebijakan pembangunan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dengan adanya kementerian yang khusus menangani perumahan dan kawasan permukiman, diharapkan kebijakan yang diambil dapat mendukung visi New Urban Agenda, terutama dalam menyediakan hunian layak, ruang publik yang baik, dan infrastruktur yang memadai.
Awal Perubahan Pembangunan Permukiman
Sebelumnya, bidang Pekerjaan Umum (PU) dan Perumahan Rakyat (PR) merupakan dua komponen yang sering kali dianggap sebagai satu kesatuan dalam konteks pembangunan nasional. Namun, pemerintahan baru nampaknya memiliki persepsi yang berbeda dan ingin fokus dalam melakukan pembangunan di setiap bidangnya sehingga kemudian melakukan restrukturisasi kebijakan yang memisahkan PU dan PR menjadi dua entitas yang mandiri. Ini adalah langkah yang membawa dampak signifikan terhadap tata kelola infrastruktur, perumahan, dan kawasan permukiman di Indonesia.
Pemecahan ini memungkinkan masing-masing sektor untuk memiliki fokus yang lebih spesifik dan strategi yang lebih terarah. Pekerjaan umum kini lebih difokuskan pada pengembangan infrastruktur, termasuk jalan, jembatan, dan fasilitas lainnya yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat. Di sisi lain, sektor perumahan rakyat mendapatkan perhatian tersendiri untuk memastikan penyediaan rumah yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan peningkatan kualitas hidup di kawasan permukiman.
Namun, dengan pemisahan ini muncul tantangan baru : "Bagaimana memastikan bahwa keduanya tetap bergerak secara sinkron untuk mencapai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan?" Sebab pembangunan perkotaan tidak bisa hanya dilihat dari pembangunan fisik infrastruktur atau penyediaan hunian semata, melainkan harus melihat kedua hal tersebut sebagai satu kesatuan yang saling terkait. Pembangunan perkotaan yang ideal membutuhkan integrasi lintas sektor, mulai dari infrastruktur, sosial ekonomi, lingkungan, hingga budaya. Pembangunan kota harus mempertimbangkan tata ruang yang berkelanjutan, pola transportasi yang efisien, hingga keseimbangan antara kawasan hijau dan pembangunan fisik.
Kemudian, terjadi penyatuan antara perumahan dan kawasan permukiman yang menjadikannya sebagai satu entitas tunggal. Ini memberikan fokus baru dalam pengembangan lingkungan perumahan yang bukan hanya menyediakan tempat tinggal, tetapi juga menciptakan lingkungan yang layak dan nyaman bagi kehidupan. Penyatuan ini mencerminkan pemahaman bahwa perumahan tidak bisa lepas dari konteks kawasan permukiman secara lebih luas, perumahan perlu didukung oleh infrastruktur kawasan seperti akses air bersih, listrik, transportasi, hingga ruang terbuka hijau.
Penyatuan perumahan dan kawasan permukiman ini membawa implikasi positif dalam menciptakan kebijakan yang holistik, di mana fokus tidak hanya pada penyediaan rumah, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan. Konektivitas antara rumah, ruang publik, hingga fasilitas umum lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Penyatuan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menekankan pentingnya penyediaan hunian yang layak dan pembangunan kawasan permukiman yang berkelanjutan. UU ini memberikan landasan hukum bagi Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk menggabungkan tugas-tugas terkait pengelolaan infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman dalam satu kementerian. Penyatuan ini diharapkan mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil bersifat komprehensif dan terintegrasi agar dapat mewujudkan kota yang inklusif, nyaman, dan layak huni bagi seluruh lapisan masyarakat.
Di sinilah pentingnya visi bersama dalam membangun kota. Pembangunan perkotaan membutuhkan perencanaan yang komprehensif dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Tanpa visi bersama ini, ada risiko bahwa sektor-sektor terkait pembangunan akan berjalan sendiri-sendiri, tanpa sinergi yang kuat.
Tantangan dan Masalah Klasik Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pemisahan kementerian ini juga memunculkan berbagai tantangan dalam konteks perumahan dan kawasan permukiman. Tantangan pertama adalah terkait dengan koordinasi lintas sektor. Meskipun kementerian perumahan dan kawasan permukiman telah menjadi entitas yang mandiri, ada risiko kurangnya sinergi antara kementerian tersebut dengan Kementerian PU, yang dapat berdampak pada ketidakselarasan antara penyediaan infrastruktur dasar dan pembangunan perumahan.
Kedua, masalah perumahan yang masih dihadapi adalah keterbatasan akses terhadap perumahan yang layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tantangan dalam menyediakan perumahan yang terjangkau tidak hanya terkait dengan biaya pembangunan, tetapi juga dengan regulasi lahan, keterbatasan lahan yang tersedia, serta kebutuhan akan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan.
Ketiga, kawasan permukiman di perkotaan sering kali dihadapkan pada permasalahan infrastruktur dasar, seperti akses air bersih, sanitasi, dan listrik. Permukiman kumuh masih menjadi tantangan besar di berbagai kota, yang membutuhkan intervensi kebijakan yang lebih holistik dan terintegrasi untuk memastikan peningkatan kualitas hidup bagi semua lapisan masyarakat.
Selain itu, isu keberlanjutan juga menjadi tantangan besar dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan efisiensi energi, pengelolaan limbah, serta penggunaan material ramah lingkungan. Tantangan ini semakin kompleks dengan adanya perubahan iklim yang memerlukan adaptasi dalam perencanaan dan pembangunan perumahan serta kawasan permukiman.
Dengan demikian, meskipun PU dan PR telah berpisah, dan perumahan serta kawasan permukiman telah menjadi satu kesatuan, pembangunan perkotaan memerlukan lebih dari sekedar restrukturisasi kelembagaan. Diperlukan integrasi lintas sektor, komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan, dan partisipasi aktif masyarakat untuk mencapai kota yang berkelanjutan, aman, dan nyaman untuk ditinggali.
Di berbagai negara, struktur kementerian yang menangani perumahan dan kawasan permukiman memiliki variasi, sesuai konteks kebijakan dan kebutuhan masing-masing. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat United States Department of Housing and Urban Development (HUD) yang berfokus pada penyediaan perumahan dan peningkatan kawasan perkotaan secara inklusif. Di Singapura, Housing and Development Board (HDB) berperan penting dalam merencanakan dan membangun perumahan terjangkau dengan dukungan penuh dari pemerintah. Sementara di Jerman, tanggung jawab perumahan dan pembangunan perkotaan tersebar antara pemerintah federal, negara bagian, dan kota-kota yang memberikan otonomi lebih besar bagi penyesuaian kebutuhan lokal. Pendekatan berbeda ini menunjukkan pentingnya koordinasi dan kolaborasi lintas sektor untuk memastikan efektivitas pembangunan. Struktur kementerian ini juga berkaitan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 11 yang bertujuan mewujudkan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Walaupun pemisahan ini memungkinkan fokus yang lebih mendalam pada masing-masing bidang, muncul tantangan baru: bagaimana memastikan agar kedua kementerian tetap bergerak sinkron untuk mencapai pembangunan kota yang berkelanjutan? Pembangunan kota yang ideal membutuhkan integrasi lintas sektor yang mencakup infrastruktur, sosial-ekonomi, lingkungan, hingga budaya. Penyatuan perumahan dan kawasan permukiman menjadi satu entitas juga mengindikasikan pentingnya pendekatan holistik dalam penyediaan tempat tinggal yang layak, di mana kawasan permukiman tidak hanya menyediakan hunian, tetapi juga mencakup infrastruktur dasar, seperti akses air bersih, listrik, transportasi, dan ruang terbuka hijau.
Pemisahan kementerian ini menghadirkan beberapa tantangan, antara lain koordinasi lintas sektor, akses perumahan layak, masalah infrastruktur permukiman, dan keberlanjutan pembangunan. Tantangan pertama adalah risiko kurangnya sinergi antara Kementerian PU dan Kementerian Perumahan, yang dapat menyebabkan ketidakselarasan dalam penyediaan infrastruktur dasar dan pembangunan perumahan. Tantangan besar dalam penyediaan perumahan layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk keterbatasan lahan, regulasi lahan, serta kebutuhan pembiayaan yang berkelanjutan. Kawasan permukiman perkotaan masih menghadapi masalah infrastruktur dasar, seperti akses air bersih dan sanitasi. Permukiman kumuh membutuhkan kebijakan yang lebih terintegrasi untuk meningkatkan kualitas hidup seluruh masyarakat. Selain itu, pembangunan perumahan dan kawasan permukiman harus memperhatikan efisiensi energi, pengelolaan limbah, serta penggunaan material ramah lingkungan, yang semakin kompleks dengan adanya tantangan perubahan iklim.
Pemisahan Kementerian PU dan PR serta penyatuan perumahan dengan kawasan permukiman merupakan langkah untuk memperjelas fokus dan tanggung jawab setiap sektor. Namun, pembangunan kota yang berkelanjutan memerlukan lebih dari sekadar restrukturisasi kelembagaan. Diperlukan integrasi lintas sektor, komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, serta partisipasi aktif masyarakat agar kota yang berkelanjutan, aman, dan nyaman dapat terwujud.
Korespondensi Penulis
Malindo Andhi S Marpaung/ malindo.andhi@infraindo.org
コメント