top of page

Pemetaan Cerdas dengan GIS-AHP: Menjawab Tantangan Konektivitas di Wilayah Terpencil Indonesia di Era Digital

Kesenjangan Digital di Tengah Akselerasi Teknologi


Dalam era digital yang kian maju, keterjangkauan akses telekomunikasi menjadi salah satu indikator penting dalam menilai kemajuan pembangunan suatu bangsa. Namun realitas di lapangan menunjukkan masih terdapat kesenjangan signifikan antara wilayah-wilayah pusat kegiatan ekonomi dan kawasan Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) di Indonesia. Keterbatasan akses internet dan jaringan seluler pada daerah-daerah ini memunculkan tantangan multifaset, mulai dari terhambatnya proses pendidikan jarak jauh hingga terganggunya sistem pelayanan kesehatan yang kini semakin bergantung pada teknologi informasi. Di tengah kebutuhan yang terus meningkat, pendekatan perencanaan infrastruktur telekomunikasi harus didesain secara sistematis, berbasis data ilmiah, dan memperhatikan karakteristik lokal untuk menghasilkan solusi berkelanjutan.


Gambar 1. SDG 9-C Terkait Target Peningkatan Akses Terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi


Kerangka global melalui Sustainable Development Goals (SDGs)Ā secara eksplisit mengakui pentingnya infrastruktur digital sebagai landasan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Target SDG 9.c mendorong negara-negara untuk ā€œsecara signifikan meningkatkan akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi serta berusaha untuk menyediakan akses internet yang terjangkau di negara-negara kurang berkembang, paling tidak pada tahun 2020ā€. Meskipun batas tahun tersebut telah terlewati, target ini tetap relevan karena kesenjangan digital belum sepenuhnya tertangani, khususnya di negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki tantangan geografis luar biasa.Ā 


Menurut data terbaru dari laporan SDG Indonesia yang diterbitkan oleh Bappenas, capaian terhadap indikator 9.c.1—yakni proporsi populasi yang memiliki akses terhadap jaringan internet dan layanan seluler yang andal—menunjukkan progres nasional yang positif secara agregat. Sekitar 93% wilayah Indonesia telah tercakup jaringan 4G hingga tahun 2023. Namun, angka ini menyamarkan disparitas spasial yang signifikan. Di beberapa wilayah terpencil seperti Pegunungan Bintang di Papua, Pulau Wetar di Maluku Barat Daya, atau kawasan perbatasan Kalimantan Utara, jaringan internet masih terbatas atau bahkan belum tersedia secara memadai. Kondisi geografis ekstrem, keterbatasan infrastruktur dasar, dan biaya logistik yang tinggi mengakibatkan keterlambatan pemerataan infrastruktur digital.


Realitas ini mempertegas bahwa pencapaian target SDG 9.c tidak hanya dapat diukur dari rasio nasional semata, tetapi harus ditinjau melalui lensa pemerataan dan keadilan spasial. Ketika sebagian masyarakat di kota-kota besar telah menikmati layanan 5G dan ekosistem digital berbasis AI, sebagian lainnya di wilayah 3T masih bergantung pada sinyal lemah yang tidak mendukung komunikasi dasar, apalagi akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan daring. Akibatnya, perbedaan dalam kualitas hidup, peluang ekonomi, serta partisipasi sosial semakin melebar. Untuk mengatasi tantangan ini, pendekatan perencanaan pembangunan infrastruktur telekomunikasi harus ditransformasi dari model reaktif dan generik menjadi model yang prediktif, berbasis bukti, dan sensitif terhadap konteks lokal.



GIS-AHP: Fondasi Ilmiah untuk Perencanaan Infrastruktur Berbasis Data


Di antara berbagai pendekatan yang dikembangkan, integrasi antara Geographic Information System (GIS) dan Analytic Hierarchy ProcessĀ (AHP) menjadi metode perencanaan yang tangguh dan adaptif. GIS memberikan kemampuan untuk mengelola dan menganalisis data spasial dengan resolusi tinggi, mencakup kondisi geografis, sebaran penduduk, infrastruktur eksisting, dan faktor lingkungan lainnya. Di mana hasilnya akan menjadi dasar dalam membangun peta prioritas yang menggambarkan daerah-daerah dengan kebutuhan konektivitas paling mendesak.


Untuk memulainya, GIS dapat memetakan atribut-atribut lingkungan secara mendetail, mencakup kontur topografi, sebaran pemukiman, jaringan jalan, serta ketersediaan dan kualitas sumber energi listrik. Seluruh data spasial ini kemudian diolah dalam lingkungan perangkat lunak GIS untuk menghasilkan layer-layer peta yang menggambarkan kondisi fisik dan demografis wilayah. Selanjutnya, AHP berfungsi sebagai instrumen kuantitatif yang menimbang bobot kepentingan setiap variabel melalui perbandingan berpasangan, melibatkan keahlian teknis para insinyur telekomunikasi, perspektif lingkungan dari ahli konservasi, dan aspirasi masyarakat setempat. Hierarki kriteria yang dibangun dapat mencakup cakupan area layanan sinyal, kemudahan akses logistik, sensitivitas ekosistem, serta estimasi biaya operasional jangka panjang. Setelah bobot kriterial diperoleh, sistem menghitung skor komposit untuk setiap unit wilayah seluler; hasilnya divisualisasikan dalam peta prioritas yang memetakan zona kritis, menengah, dan wilayah dengan layanan yang sudah memadai.


Gambar 2. Kerangka Alur Metode GIS-AHP untuk Perencanaan Infrastruktur BTSĀ 

Sumber: mapid.co.id


Implementasi kerangka GIS‑AHP di Kabupaten Boven Digoel, Papua, menjadi contoh nyata keunggulan metode ini. Kawasan tersebut terdiri atas hamparan hutan tropis yang lebat, aliran sungai besar, dan kondisi jalan Trans‑Papua yang sering tidak stabil akibat erosi atau longsor. Pendekatan konvensional yang berfokus pada estimasi kasar lokasi menara berdasarkan jarak antar‑BTS dan kepadatan permukiman ternyata kurang efektif dalam memetakan kebutuhan konektivitas yang sebenarnya. Dengan mengintegrasikan data aksesibilitas jalan, kelerengan kontur tanah, dan ketersediaan aliran listrik ke dalam matriks AHP, tim perencana berhasil memilih 15 lokasi strategis untuk menara 4G. Analisis peta prioritas menunjukkan pengurangan tumpang tindih sinyal hingga 25 % dibandingkan perencanaan sebelumnya dan penurunan biaya konstruksi sejauh 15 %, karena pilihan titik yang memanfaatkan infrastruktur pendukung eksisting. Pemetaan zonasi memberikan panduan jelas bagi pemangku kepentingan tentang urgensi intervensi: wilayah yang memerlukan penanganan segera, daerah yang memerlukan survei lapangan lanjutan, serta kawasan yang sudah cukup terlayani.


Sementara itu, karakteristik geografis Kepulauan Riau, khususnya Pulau Rangsang di Provinsi Riau, menghadirkan tantangan berbeda yang menuntut penyesuaian kriteria dalam kerangka GIS‑AHP. Lingkungan maritim mengharuskan penambahan variabel ketahanan struktur terhadap korosi air asin, ketersediaan jalur transportasi laut untuk logistik, dan opsi backhaul melalui satelit. Ketika kriteria tersebut diintegrasikan, hasil peta prioritas menunjukkan solusi hibrida yang mengombinasikan menara mikrowave di daratan dengan jangkauan laut lepas, serta terminal satelit SATRIA‑1 di pulau-pulau terpencil. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kontinuitas layanan, tetapi juga memacu inovasi di bidang material anti-korosi dan teknik instalasi menara di lingkungan pesisir.


Dukungan kebijakan publik melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) serta peluncuran Satelit Republik Indonesia‑1 (SATRIA‑1) telah memperkuat upaya penyediaan konektivitas di wilayah 3T. Program pembangunan ribuan unit BTS 4G di lokasi terpencil seperti Jayawijaya dan Aceh Singkil mengandalkan hasil analisis GIS‑AHP dan fasilitas backhaulĀ satelit untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur darat. Keberhasilan ini menjadi buah kolaborasi stakeholder lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, operator swasta, hingga lembaga riset akademik, yang bersama-sama memvalidasi kriteria AHP melalui forum partisipatif. Proses tersebut memastikan peta spasial dirancang tidak hanya oleh ahli teknis, tetapi juga dengan mempertimbangkan aspirasi lokal serta nilai-nilai lingkungan.


Pilar Strategis: Dari Gudang Data hingga Kemandirian Teknologi Lokal


Gambar 3. Sosial Masyarakat Wilayah 3T Menuju Era Digital


Agar perencanaan infrastruktur telekomunikasi di wilayah 3T benar‑benar berkelanjutan, keberadaan gudang data nasional yang terintegrasi menjadi prasyarat mutlak. Repositori terpadu ini akan memuat peta topografi resolusi tinggi, inventarisasi lengkap infrastruktur publik, indeks demografi yang sangat detail, serta data real‑time mengenai kondisi jaringan yang sedang dioperasikan. Dengan mekanisme pembaruan berkala—idealnya setiap dua tahun—data yang tersedia akan selalu akurat dan mencerminkan dinamika di lapangan, sehingga analisis spasial dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan keyakinan tinggi terhadap kualitas informasi.


Menopang inisiatif tersebut, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di daerah melalui program pelatihan intensif GIS dan AHP akan memastikan keahlian teknis tidak terkonsentrasi di pihak eksternal. Staf Dinas Kominfo, tim lapangan BAKTI, dan personel operator seluler yang terlatih dalam pengolahan data spasial, penyusunan matriks perbandingan berpasangan, serta interpretasi peta prioritas akan mampu merancang dan menyesuaikan rencana pembangunan secara mandiri. Kemandirian semacam ini tidak hanya mempersingkat waktu implementasi, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan serta tanggung jawab kolektif terhadap hasil yang dicapai.


Selanjutnya, pengembangan platform monitoring dan evaluasi daring akan menyediakan dashboard interaktif yang menampilkan progres pembangunan BTS, sebaran cakupan sinyal, hasil drive test kualitas layanan, dan umpan balik langsung dari pengguna. Dengan sistem yang bersifat adaptif, peta prioritas dapat direvisi secara dinamis begitu terdeteksi kendala lapangan—mulai dari kerusakan infrastruktur akibat bencana alam hingga pergeseran pola pemukiman—sehingga langkah korektif dapat diambil tanpa penundaan.


Di samping itu, adopsi inovasi teknologi secara berkelanjutan akan menjadi penguatan lapisan konektivitas yang selama ini sulit dijangkau. Pemanfaatan UAV repeater untuk menjangkau lembah sempit atau lereng terjal, penggunaan material menara dengan ketahanan tinggi terhadap gempa dan cuaca ekstrem, serta integrasi satelit generasi baru dengan throughput lebih besar akan memperluas kemampuan backhaul. Kombinasi solusi ini memungkinkan penggunaan infrastruktur darat dan udara secara optimal, menjawab tantangan geografis yang selama ini membatasi perluasan jaringan di wilayah terluar dan terpencil.


ā€œKolaborasi lintas pemangku kepentingan, didukung sistem monitoring real‑time dan inovasi teknologi seperti UAV repeater serta satelit generasi baru, meretas hambatan geografis untuk menjembatani kesenjangan konektivitas.ā€

Dengan sinergi antara repositori data mutakhir, kapasitas manusia lokal yang terasah, sistem monitoring yang responsif, dan teknologi terkini, perencanaan infrastruktur telekomunikasi untuk wilayah 3T akan berjalan lebih efisien, adaptif, dan berdampak jangka panjang. Upaya ini menyatukan kecanggihan metode GIS‑AHP, dukungan satelit, dan kolaborasi multipihak, menjadikan target SDG 9.c bukan hanya sebagai agenda global, tetapi sebagai komitmen nyata untuk menjembatani ketimpangan digital dan mewujudkan transformasi pembangunan yang berkeadilan.


Korespondensi Penulis

Aji Wahyu Qan Dermawan / ajiwahyuqander@gmail.comĀ 

Daftar Literatur:

  • Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi. (2023). Pembangunan BTS 4G di wilayah 3T dan peluncuran Satelit SATRIA-1.Ā Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. https://www.bakti.kominfo.go.id

  • Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2023). Laporan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) Indonesia tahun 2023.Ā Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. https://sdgs.bappenas.go.id

  • Esri. (2020). GIS for telecommunications: Solving real-world infrastructure problems.Ā Environmental Systems Research Institute.

  • Fadillah, Ma’aruf Arief (2022). Pemerataan Infrastruktur Telekomunikasi pada Wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di Indonesia (Studi Kasus: Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti).Ā https://www.mapid.co.id

  • Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2023). Statistik telekomunikasi Indonesia 2023.Ā https://www.kominfo.go.id

  • OpenStreetMap Foundation. (2023). Geospatial data for remote infrastructure planning.Ā https://www.openstreetmap.org

  • Saaty, T. L. (2008). Decision making with the Analytic Hierarchy Process. International Journal of Services Sciences, 1(1), 83–98. https://doi.org/10.1504/IJSSCI.2008.017590

  • United Nations. (2015). Goal 9: Build resilient infrastructure, promote inclusive and sustainable industrialization and foster innovation.Ā UN Sustainable Development Goals. https://sdgs.un.org/goals/goal9

  • World Bank. (2022). Closing the connectivity gap: Digital development in Indonesia.Ā The World Bank. https://www.worldbank.org


Ā 
Ā 
Ā 

Commentaires


© 2025 by Pusat Studi Infrastruktur Indonesia

bottom of page