
Memaknai Yogyakarta sebagai City of Philosophy
Yogyakarta, yang dikenal sebagai City of Philosophy, menyandang berbagai julukan yang tidak lepas dari sejarah peradaban kota tersebut. Sebagai kota yang sarat akan filosofi, Yogyakarta telah menjadi wadah perkembangan budaya sejak awal berdirinya. Sebagai “The City of Philosophy” dengan tajuk “The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks”, Yogyakarta diusung menjadi kota warisan dunia UNESCO. Berdasarkan Priyono, et. al. (2021), berbagai upaya dilakukan untuk mendukung Yogyakarta sebagai pusat pelestarian, pengembangan, dan pewarisan kebudayaan. Pembangunan kebudayaan akan mewadahi berbagai sektor lain untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan sebagai komponen penting bagi masyarakat dan kota.
The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks, sebuah mahakarya agung dalam perencanaan abad ke-18. Yogyakarta sebagai pusat kota bersejarah dan kota budaya, mengandung nilai-nilai falsafah dan kebudayaan yang terwujud dalam sumbu. Mengutip dari Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi (2022), perwujudan tata ruang Yogyakarta dirancang untuk mengemukakan pemikiran filosofis Jawa mengenai daur hidup manusia. Pemikiran tersebut tertuang dalam “Sangkan Paraning Dumadi” yang bermakna siklus kehidupan dan “Manunggaling Kawula Gusti” yang bermakna hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Menurut Priyono, et. al. (2021), mahakarya sebagai buah pemikiran Sultan Hamengku Buwana I tersebut, dituangkan dalam berbagai bentuk tata ruang kota, warisan budaya arsitektur, dan lansekap Yogyakarta.

Menyusuri Sumbu Filosofi Yogyakarta
Mengutip dari Sapardan, Suryandari, & Aridyansyah (2022), nominasi The Cosmological Axis of Yogyakarta terwujud dalam dua komponen, yakni komponen Sumbu Filosofi yang berada di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul serta komponen Makam Imogiri yang berada di Kabupaten Bantul. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), Kawasan Sumbu Filosofi mencakup atribut Panggung Krapyak, Sumbu Filosofi Selatan, Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Beteng Plengkung, Pojok Beteng Kraton, Kompleks Dalam/Inti Kraton, Tamansari, Masjid Gedhe Kauman, Sumbu Filosofi Utara, Pasar Beringharjo, Kompleks Kepatihan, dan Tugu.
Berdasarkan Priyono, et. al. (2021), tata ruang kota Yogyakarta didasarkan pada keserasian makna sumbu filosofi yang menautkan antara Panggung Krapyak-Kraton-Tugu. Pola pembentukan kota Yogyakarta berlandaskan daur hidup manusia dengan pembagian kota Yogyakarta menjadi dua wilayah. Pada bagian selatan atau Panggung Krapyak ke Kraton merupakan simbol awal mula terciptanya manusia (Sangkaning Dumadi). Sementara, pada bagian utara atau Tugu Pal Putih ke Kraton merupakan simbol jalan yang harus dilalui untuk kembali menuju Sang Pencipta (Paraning Dumadi). Apabila kedua bagian disatukan akan menjadi satu titik temu antara Sangkaning Dumadi dan Paraning Dumadi yang bertemu di satu titik pusat yaitu Kraton. Pertemuan tersebut membentuk satu kesatuan utuh kota Yogyakarta yang bermakna filosofi jawa asal dan tujuan dari adanya hidup (Sangkan Paraning Dumadi).
Adapun Panggung Krapyak-Kraton-Tugu Pal Putih merupakan komponen utama dari Sumbu Filosofi secara konseptual. Atribut tersebut berada dalam satu garis lurus dengan Tugu Pal Putih dan Panggung Krapyak sebagai simbol Lingga dan Yoni. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), Panggung Krapyak memiliki kondisi pelestarian yang baik dengan pemeliharaan rutin oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mengutip dari Priyono, et. al. (2021), bangunan tersebut awalnya sebagai tempat Sultan berburu menjangan, namun saat ini menjadi salah satu tempat tujuan pariwisata.
Selanjutnya, terdapat Jalan Gebayan yang menautkan antara Panggung Krapyak hingga Kraton sebagai Sumbu Filosofi Selatan. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), ruas jalan tersebut memiliki kondisi yang baik, namun masih terdapat permasalahan fisik, di antaranya keberadaan papan reklame yang tidak sesuai khususnya di bagian selatan jalan dan bangunan informal yang dibangun di dekat sumbu. Di sepanjang jalan, ditanam pohon asam dan tanjung yang secara historis memiliki nilai filosofi yang tinggi.
Melangkah lebih dekat lagi, terdapat Beteng, Plengkung, dan Pojok Beteng Kraton yang masih dalam kondisi baik. Namun, pada bagian benteng keliling (Baluwarti) terdapat pembangunan banyak bangunan kecil yang tidak sesuai dengan struktur warisan budaya dan cagar budaya (WBCB). Selanjutnya, terdapat Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih terpelihara dengan baik secara keseluruhan. Meskipun demikian, bagian dinding luar Kamandungan Kidul, Pangongan, dan halaman Kamagangan telah dipengaruhi oleh pemukiman.
Tepat di sebelah barat Kraton terdapat Tamansari dengan Gapura Agung, Umbul Binangun, Masjid Sumur Gumuling, dan Pulo Kenanga sebagai struktur yang menonjol. Upaya pelestarian terus digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia beserta Dinas Kebudayaan DIY semenjak gempa pada tahun 2006 yang melanda sehingga merusak sejumlah bangunan pada kompleks tersebut. Selanjutnya, terdapat Masjid Gedhe Kauman yang masih dalam kondisi baik dengan pemeliharaan rutin oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Lalu, terdapat Sumbu Filosofi Utara yang mencakup jalan Pangurakan, Margomulyo, Malioboro, dan Margoutomo. Ketiga ruas jalan Pangurakan, Margomulyo, dan Malioboro memiliki kondisi yang cukup baik dengan tidak ada pembangunan hotel atau bangunan tinggi yang berdampak signifikan pada Sumbu Filosofi. Sementara, bangunan tinggi yang menyalahi aturan telah dibangun di jalan Margoutomo. Di sepanjang jalan tersebut, bangunan bersejarah dalam kepemilikan pribadi telah diperbaharui secara tidak semestinya dengan sebagian besar bentuk asli telah ditutupi papan reklame.
Berikutnya, tepat di sebelah utara Kraton, terdapat Pasar Beringharja dengan kondisi baik dan terpelihara baik. Sementara, bangunan yang terus berfungsi sebagai pasar baik bagi masyarakat lokal maupun turis tersebut, membutuhkan perbaikan pada beberapa elemen dari bagian internal pasar. Selanjutnya, terdapat Kompleks Kepatihan dengan Gedung Induk Kepatihan yang saat ini menjadi Kantor Gubernur DIY dan pusat pemerintahan provinsi. Semua bangunan dalam kompleks tersebut dalam kondisi baik dengan pemeliharaan rutin oleh unit khusus Pemerintah Daerah DIY dengan dukungan teknis dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta.
Selanjutnya, Tugu, sebagai salah satu komponen utama dari Sumbu Filosofi secara konseptual, masih dalam kondisi sangat baik. Saat ini, Tugu merupakan hasil rekonstruksi dari tahun 1889, sebagai akibat dari gempa pada tahun 1867 yang berdampak pada struktur asli. Kendati demikian, bentuk hasil rekonstruksi tersebut masih dianggap merepresentasikan lingga sebagai lambang laki-laki. Dengan keberadaan Tugu di persimpangan jalan yang sibuk, taman dan pagar batu dibangun di sekitar Tugu untuk mengamankan dari ancaman lalu lintas.
Menyoal Yogyakarta Hari Ini
Kendati perkembangan dan perubahan tata ruang kota seiring waktu, Yogyakarta masih eksis menuangkan “wajah asli” sebagai wujud dari sejarah perkembangan kota tradisional Jawa. Di tengah perkembangan kota yang terus melakukan pembangunan, Yogyakarta sebagai mahakarya jenius kreatif diharapkan dapat terus lestari dengan kebudayaan yang adiluhung beserta makna simbolik dan filosofis yang kental. Yogyakarta, sebagai kota Istimewa yang sarat akan makna yang terwujud dalam sumbu.
Korespondensi Penulis
Ingga Dewi Amalia/ inggaamaliadewi@gmail.com
Comments