top of page

Menerangi Negeri dari Pinggiran

Makna simbolik berupa pemerataan dan keadilan energi, sederhana tapi dalam


ree

Gambar 1. Ilustrasi Keluarga di Desa Menggunakan Lampu Minyak

Sumber:  Medan Tribunnews, 2018


Ketika kita berbicara tentang listrik, sering kali yang muncul adalah angka: berapa persen rasio elektrifikasi, berapa megawatt kapasitas terpasang, dan berapa triliun rupiah investasi yang sudah dikucurkan. Namun di balik deretan angka itu, ada wajah-wajah di ujung negeri yang hidupnya masih bergantung pada genset, lampu minyak, atau panel surya kecil yang hanya menyala beberapa jam setiap malam.


Pemerintah melalui Kementerian ESDM mencatat rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,83 persen pada akhir 2024. Capaian ini patut dihargai, tetapi jika dilihat lebih dalam, masih ada sekitar 500 ribu rumah tangga di wilayah timur Indonesia yang belum menikmati listrik secara stabil. Sebagian besar berada di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara, daerah yang tidak hanya jauh secara geografis tetapi juga tertinggal dalam struktur ekonomi dan infrastruktur dasar (Kementerian ESDM, 2024; PLN, 2025).


Dari sisi infrastruktur dan kebijakan publik, saya melihat isu listrik bukan semata urusan teknis, tetapi juga soal keadilan dan martabat. Akses energi adalah hak dasar manusia modern. Ia menentukan peluang pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Ketika sebuah desa masih gelap, sesungguhnya kita sedang menyaksikan bagian dari bangsa yang belum sepenuhnya hadir dalam abad ke-21.


Dari sisi teknis, pemerataan listrik di Indonesia adalah pekerjaan yang rumit. Kondisi geografis yang tersebar membuat biaya koneksi antar-pulau dan antar-desa bisa mencapai tiga sampai lima kali lipat dibandingkan di Jawa. Di banyak daerah, memperluas jaringan utama tidak ekonomis, sehingga solusi mini-grid, mikrohidro, atau panel surya hibrida menjadi lebih masuk akal. Menurut Bank Dunia (2021), untuk menutup celah menuju elektrifikasi penuh, Indonesia masih membutuhkan investasi sekitar 2,4 miliar dolar AS.


Masalah utamanya bukan hanya pendanaan, melainkan keberlanjutan operasional. Banyak proyek listrik skala kecil berhenti berfungsi setelah dua atau tiga tahun karena tidak ada dana pemeliharaan, tidak ada pelatihan teknisi lokal, atau tidak ada lembaga desa yang siap mengelola. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur tanpa kesiapan sosial hanya menghasilkan penerangan sementara.


Dari sisi ilmu Engineering, saya belajar bahwa sistem kelistrikan tidak bisa diukur hanya dari jumlah sambungan. Ia harus tangguh dan cerdas agar bisa bertahan di tengah kondisi alam yang berubah. Kita tidak bisa terus menggunakan model pembangunan linear yang hanya mengejar target jangka pendek tanpa memperhitungkan perawatan. Apalagi dengan meningkatnya risiko bencana dan perubahan iklim yang kian sering merusak jaringan transmisi di daerah terpencil.


Dari kacamata ekonomi, listrik seharusnya menjadi penggerak produktivitas. Namun di banyak wilayah pinggiran, listrik baru dimanfaatkan untuk penerangan dasar, bukan kegiatan ekonomi. Ini terjadi karena tidak ada dukungan ekosistem yang memadai. Akses ke pasar, permodalan, dan pelatihan masih terbatas. Akibatnya, listrik hadir tanpa memberikan efek berganda yang nyata bagi masyarakat.


Kebijakan publik sering terjebak dalam logika kuantitatif. Kita merasa puas ketika angka elektrifikasi naik, padahal yang perlu diukur adalah kualitas layanan. Berapa jam listrik menyala setiap hari, berapa kapasitas daya yang tersedia per rumah tangga, dan apakah listrik benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga.


Karena itu, saya percaya kebijakan energi perlu berani keluar dari pola seragam nasional. Pemerataan listrik tidak bisa diselesaikan dengan satu formula yang berlaku di seluruh daerah. Pendekatan berbasis wilayah dan sosial ekonomi lebih relevan. Investasi publik dapat dikombinasikan dengan blended finance yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan lembaga donor, dengan logika keadilan sosial, bukan hanya pengembalian modal (World Bank, 2025).


ree

Gambar 2. Ilustrasi Kehidupan Sehari-hari Tanpa Listrik

Sumber:  BBC News Indonesia, 2021



Sebagai pemerhati sosial, saya melihat ketimpangan energi berdampak bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga pada psikologi sosial. Hidup tanpa listrik berarti hidup dalam keterbatasan ruang dan waktu. Anak-anak belajar di bawah cahaya redup, ibu kesulitan menyimpan bahan makanan, dan masyarakat kehilangan kesempatan untuk terhubung dengan dunia digital. Dalam jangka panjang, kondisi ini menumbuhkan rasa terisolasi dan tidak berdaya. Luka sosial seperti ini tidak tercatat dalam statistik pembangunan.


Sebagai aktivis kesehatan mental, saya percaya pembangunan yang berkeadilan harus mengembalikan rasa bermartabat masyarakat. Listrik adalah simbol harapan. Ketika desa gelap menjadi terang, muncul perasaan bahwa mereka tidak dilupakan. Akses energi yang berkelanjutan dapat menurunkan stres sosial, memperkuat hubungan keluarga, dan menumbuhkan kepercayaan diri kolektif. Sejumlah studi juga menunjukkan adanya korelasi antara keandalan listrik dan penurunan tekanan psikologis di masyarakat pedesaan.


Untuk benar-benar menerangi negeri dari pinggiran, ada beberapa langkah yang menurut saya perlu ditempuh.

  1. Pemerintah harus menambah indikator kualitas layanan listrik, bukan hanya angka elektrifikasi. Data tentang lama menyala, kestabilan tegangan, dan harga efektif harus menjadi bagian dari target nasional.

  2. Keterlibatan masyarakat lokal harus menjadi inti dari setiap proyek. Tanpa pelatihan teknis dan dukungan kelembagaan desa, infrastruktur mudah rusak.

  3. Insentif pembiayaan sosial perlu diperluas. Skema blended finance dan subsidi diferensial dapat membuat proyek di wilayah terpencil tetap menarik bagi investor.

  4. Pengukuran kesejahteraan sosial dan kesehatan mental perlu dimasukkan dalam evaluasi proyek energi. Karena manfaat listrik tidak berhenti pada arus dan tegangan, tetapi menjalar pada rasa aman dan kualitas hidup.


Cahaya selalu menjadi simbol kemajuan, namun juga cermin ketimpangan. Di kota, kita menekan saklar dan terang seketika. Di banyak pulau kecil, saklar itu tidak bekerja dan malam tetap panjang.


Menerangi negeri dari pinggiran bukan sekadar menambah kapasitas daya, tetapi menyalakan harapan yang adil. Keadilan energi adalah bentuk nyata dari keadilan sosial, dan mungkin salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kesehatan bangsa ini, lahir dan batin.


Korespondensi Penulis:



Daftar Literatur

 
 
 

Komentar


© 2025 by Pusat Studi Infrastruktur Indonesia

bottom of page