Jalan Panjang Menuju Mobilitas yang Ramah dan Inklusif
- amalia d
- 15 Agu
- 3 menit membaca
Smart Mobility bukan sekadar soal kendaraan, tapi soal keadilan, emisi, dan bagaimana kita hidup bersama

Gambar 1. Ilustrasi Smart Mobility
Sumber: Ilustrasi Penulis
Setiap 10 Agustus, kita memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Di tengah perayaan inovasi dan kemajuan teknologi, muncul pertanyaan mendasar: sudahkah teknologi benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat, atau hanya melaju di atas rel kepentingan segelintir pihak? Dalam sektor transportasi, istilah Smart Mobility kini menjadi jargon utama. Dari kendaraan listrik hingga sistem lalu lintas berbasis kecerdasan buatan, teknologi bergerak cepat. Namun di lapangan, mobilitas masih jadi masalah sosial dan ekologis yang belum terpecahkan.
Smart Mobility bukan hanya tentang kecepatan atau efisiensi, tapi soal siapa yang bisa mengaksesnya, dan siapa yang tertinggal di pinggir jalan. Menurut data BPS (2025), lebih dari 25 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Angka ini memang menurun, namun akses mereka terhadap transportasi masih tertinggal jauh. Kendaraan listrik dan infrastruktur digital lebih banyak ditemukan di kota besar dan lingkungan kelas menengah atas. Di desa dan pinggiran kota, warga masih mengandalkan kendaraan konvensional, jalan berlubang, dan angkutan umum yang tidak menentu.

Gambar.2 Charging Station
Sumber : Kompas Otomotif.com
Sementara itu, mobilitas yang canggih kerap dijadikan simbol kemajuan, bukan alat pemerataan. Infrastruktur charging station dan digitalisasi transportasi belum menyentuh wilayah-wilayah miskin. Smart Mobility justru berisiko memperlebar ketimpangan, jika tidak dirancang dengan prinsip inklusivitas dan keadilan sosial. Inilah tantangan besar menuju mobilitas yang ramah dan inklusif.

Gambar 3. Ilustrasi Mobilitas Perkotaan yang Berkelanjutan
Sumber: Unsplash.com
Belajar dari Amsterdam, kota ini tak sekadar mempromosikan kendaraan listrik, melainkan membentuk ulang pola mobilitas warga. Lebih dari separuh perjalanan harian dilakukan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Pemerintah kota aktif membatasi mobil pribadi, memperluas jalur sepeda, dan memperkuat transportasi publik berbasis listrik. Hasilnya, Amsterdam dinobatkan sebagai kota dengan sistem mobilitas paling hijau di dunia oleh GoodStats (2024). Ini bukan semata karena teknologinya, tapi karena orientasi kebijakan yang berpihak pada manusia dan lingkungan.
Indonesia pun memiliki visi besar melalui Visi Indonesia 2045. Dalam dokumen ini, pembangunan infrastruktur, penguasaan teknologi, dan keadilan sosial menjadi fondasi Indonesia Emas. Namun, jika transportasi masa depan hanya mengejar elektrifikasi tanpa keadilan akses, maka visi ini berisiko jadi eksklusif. Mobilitas cerdas seharusnya menjadi jembatan menuju kesetaraan, bukan hanya sekadar pencapaian teknologi.
Untuk itu, pendekatan kebijakan perlu diubah. Insentif kendaraan pribadi perlu dialihkan pada pembangunan transportasi umum yang ramah lingkungan. Desain kota harus memberi ruang aman bagi pejalan kaki dan pesepeda. Literasi publik soal mobilitas rendah emisi harus diperkuat sejak usia dini. Kota-kota menengah perlu dijadikan pilot project mobilitas inklusif seperti zona rendah emisi dan pusat mobilitas berbasis komunitas (e-hubs).
Amsterdam menunjukkan bahwa perubahan mungkin terjadi jika kebijakan dan budaya bergerak seiring. Indonesia bisa meniru pendekatan ini dengan menyesuaikan konteks lokal. Pendekatannya harus berbasis pada integrasi teknologi, kesadaran sosial, dan keberanian politik untuk tidak berpihak pada konsumsi semata.
Mobilitas masa depan bukan hanya tentang mengganti bahan bakar, melainkan mengganti cara pandang. Teknologi hanyalah alat, tetapi arah penggunaannya menentukan apakah ia mempersempit atau memperlebar jurang. Jalan menuju mobilitas yang ramah dan inklusif memang panjang, tapi bisa ditempuh jika negara, masyarakat, dan teknologi berjalan bersama.
Korespondensi Penulis:
Yudistira Widi Pratomo/yudistiwp@gmail.com
Daftar Literatur:
Bappenas. (2019). Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/Policy_Paper/Ringkasan%20Eksekutif%20Visi%20Indonesia%202045_Final.pdf
GoodStats. (2024). Auto Adem: Inilah Kota Dunia dengan Sistem Mobilitas Paling Hijau. https://data.goodstats.id/statistic/auto-adem-inilah-kota-dunia-dengan-sistem-mobilitas-paling-hijau-US8fC
Sekretariat Negara Republik Indonesia. (2025, Juli 1). Jumlah Penduduk Miskin Turun, Mensesneg: Pemerintah Terus Bekerja Keras Atasi Kemiskinan. https://www.setneg.go.id/baca/index/jumlah_penduduk_miskin_turun_mensesneg_pemerintah_terus_bekerja_keras_atasi_kemiskinan
Creutzig, F., Roy, J., Lamb, W. F., Azevedo, I. M. L., Bruin, W. B. de, Dalkmann, H., Edelenbosch, O. Y., Geels, F. W., Grubler, A., Hepburn, C., Hertwich, E. G., Köhler, J., Mattauch, L., Rao, N. D., Steinberger, J. K., Tavoni, M., Ürge-Vorsatz, D., & Weber, E. U. (2021). Towards demand-side solutions for mitigating climate change. Nature Climate Change, 11(9), 761–768. https://doi.org/10.1038/s41558-021-01061-4
Liao, F., Ettema, D., Molin, E., & van Wee, B. (2023). Mode substitution induced by electric mobility hubs: Results from Amsterdam. arXiv preprint arXiv:2310.19036. https://doi.org/10.48550/arXiv.2310.19036
Peters, J. F., Burguillo, M., & Arranz, J. M. (2021). Low emission zones: Effects on alternative-fuel vehicle uptake and fleet CO₂ emissions. arXiv preprint arXiv:2103.13801. https://doi.org/10.48550/arXiv.2103.13801
Oliver Wyman Forum. (2024). Urban Mobility Readiness Index – Amsterdam. https://www.oliverwymanforum.com/mobility/urban-mobility-readiness-index/amsterdam.html
Comments