top of page

Konektivitas Setengah Hati


Gambar 1. Ilustrasi Anak Anak di Wilayah 3T

Sumber : Kompas.com


Janji pemerataan digital di Indonesia kerap menggema di ruang-ruang pidato dan dokumen perencanaan. Namun bagi jutaan warga di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), janji itu masih sebatas slogan. Konektivitas digital yang semestinya menjadi tulang punggung transformasi ekonomi dan pelayanan publik justru belum menyentuh banyak desa dan kampung di pinggiran Republik Indonesia tercinta ini.


Infrastruktur Digital dan Ekonomi Pinggiran


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,36 persen dari total populasi. Namun, angka ini meningkat tajam di wilayah 3T, di mana tingkat kemiskinan rata-rata mencapai 17–23 persen, tergantung pada wilayah geografisnya. Di Papua, misalnya, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 26,03 persen, menjadikannya provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi nasional.

Di sisi lain, Bank Dunia dalam laporan "Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class" (2020) mencatat bahwa kelas menengah di Indonesia tumbuh secara signifikan di wilayah urban, namun masih sangat terbatas di wilayah 3T. Kurangnya akses terhadap pendidikan bermutu, lapangan kerja formal, dan infrastruktur digital yang memadai menjadi penghambat utama.


Rendahnya penetrasi konektivitas memperlemah potensi akselerasi ekonomi di wilayah 3T. Masyarakat yang seharusnya bisa naik kelas melalui digitalisasi UMKM dan akses informasi global, justru terjebak dalam sirkulasi ekonomi lokal yang sempit dan stagnan. Tanpa intervensi digital, kelas menengah di wilayah 3T hanya akan menjadi potensi yang tak pernah tumbuh.


Di tengah akselerasi ekonomi digital, koneksi internet telah menjelma kebutuhan dasar. Penelitian World Bank (2022) menunjukkan bahwa setiap peningkatan 10 persen penetrasi internet dapat mendorong pertumbuhan PDB per kapita negara berkembang hingga 1,38 persen. Di Indonesia, inisiatif seperti "Desa Digital" menunjukkan dampak positif, dengan peningkatan pendapatan masyarakat hingga 14 persen dalam dua tahun. Namun, capaian ini masih bersifat sporadis dan belum menembus jantung ketimpangan.


Gambar 2. Ilustrasi Infrastruktur Digital dan Ekonomi Pinggiran

Ā Sumber : Ilustrasi oleh Penulis


UMKM di wilayah 3T kerap terhambat oleh keterbatasan jaringan. Akses ke pasar daring, layanan keuangan digital, hingga literasi teknologi masih jauh dari memadai. Tanpa internet, sebagai contoh pengusaha kecil di Nias atau Mahakam Hulu tetap terisolasi dari arus utama ekonomi nasional.



Ketimpangan Anggaran dan Arah Kebijakan


Anggaran negara masih didominasi sektor transportasi dan energi. Telekomunikasi, meski vital di era digital, tetap menjadi prioritas sekunder. Padahal, konektivitas digital bukan hanya pendukung pembangunan, tapi fondasi bagi efektivitas layanan publik, produktivitas ekonomi, dan partisipasi warga dalam demokrasi.


Skema insentif fiskal untuk operator yang membangun jaringan di wilayah 3T masih minim. Padahal, pendekatan fiskal progresif dan kebijakan afirmatif bisa menjadi katalis penting. Pembentukan Dana Khusus Infrastruktur Digital (DAK-Digital), misalnya, dapat membantu pemerintah daerah menyusun kebijakan yang lebih kontekstual dan responsif.


Antara Proyek Besar dan Realitas Lapangan


Gambar 3. Ilustrasi Konektivitas Palapa Ring

Sumber : Wikipedia.org


Proyek Palapa Ring dan peluncuran satelit SATRIA-1 menandai komitmen pemerintah membangun konektivitas nasional. Palapa Ring menghubungkan ribuan kilometer serat optik, sementara SATRIA-1 ditargetkan menyuplai internet ke lebih dari 150 ribu titik layanan publik.


Namun, proyek infrastruktur berskala besar tak otomatis menjamin akses yang merata. Banyak desa di Papua, Nusa Tenggara, dan pedalaman Kalimantan masih kesulitan mendapatkan sinyal stabil. Realitas ini menunjukkan adanya kesenjangan antara ambisi pembangunan dan tata kelola implementasi.


Urbanisasi, Infrastruktur, dan Tantangan Pemerataan


Gambar 4. Ilustrasi Infrastruktur di Jakarta

Sumber: Unsplash


Perkotaan tumbuh pesat. Menurut data BPS (2023), lebih dari 57 persen penduduk Indonesia kini tinggal di wilayah perkotaan, dan angka ini terus meningkat. Namun, pertumbuhan ini tidak selalu dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dasar, termasuk jaringan digital. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung terus berlomba dalam adopsi teknologi kota pintar (smart city), sementara kota lapis kedua dan ketiga tertinggal jauh dalam hal kapasitas fiskal maupun kesiapan SDM.


Keterbatasan infrastruktur dasar seperti jaringan air bersih, transportasi publik, dan perumahan yang layak masih menjadi tantangan di banyak kota kecil. Ditambah dengan konektivitas digital yang belum merata, urbanisasi justru memperbesar beban wilayah perkotaan tanpa benar-benar meningkatkan kualitas hidup warga. Dalam konteks ini, smart city berisiko menjadi jargon kosong jika tidak disertai pemerataan infrastruktur antarwilayah.


Gambar 5. Kesenjangan akses internet antara wilayah perkotaan dan kabupaten tertinggal di Indonesia berdasarkan data LPEM FEB UI (2024)

Sumber : Diolah oleh Penulis berdasarkan data LPEM FEB UI (2024)


Studi LPEM FEB UI (2024) juga menunjukkan bahwa kota-kota dengan indeks konektivitas tinggi memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Namun ketimpangan akses internet antarkota dan desa masih mencolok: cakupan internet rumah tangga di kota besar mencapai 85 persen, sementara di kabupaten tertinggal hanya 27 persen. Angka ini menunjukkan urgensi integrasi antara pembangunan infrastruktur digital dan kebijakan tata kota yang berkeadilan.


Ketika Smart City Tak Menyentuh Desa


Gambar 6. Ilustrasi Program Smart City

Sumber : Ilustrasi oleh Penulis


Pemerintah menggaungkan program "100 Smart City" sebagai strategi digitalisasi tata kelola kota. Namun, relevansi konsep ini patut dipertanyakan ketika desa-desa belum bisa mengakses laman pemerintah karena sinyal tak memadai. Sementara kota-kota besar mulai membangun sistem layanan publik berbasis data, ratusan puskesmas di wilayah 3T masih bergantung pada pencatatan manual.


Konektivitas digital yang timpang bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang narasi pembangunan: siapa yang dianggap prioritas? Jika desa terus tertinggal, maka transformasi digital hanya akan memperdalam ketimpangan struktural.


Ā 

Ā Rekomendasi Kebijakan


Gambar 7. Ilustrasi Pilar Pilar Implementasi Smart City


Untuk membalik ketimpangan ini, diperlukan intervensi kebijakan yang tegas dan terukur:

  • Peraturan Presiden tentang percepatan pembangunan infrastruktur digital di wilayah 3T.

  • Insentif fiskal bagi operator telekomunikasi yang memperluas layanan ke daerah terpencil.

  • Alokasi Dana Khusus Infrastruktur Digital melalui DAK.

  • Revisi UU Telekomunikasi yang mewajibkan perluasan jaringan ke wilayah 3T.

  • Perda yang mensyaratkan integrasi digital dalam RPJMD daerah.


Langkah-langkah ini bukan hanya teknis administratif, tapi juga bentuk keberpihakan pada keadilan pembangunan.


Penutup


Telekomunikasi adalah wajah baru dari kehadiran negara. Ketika sinyal internet belum hadir di banyak pelosok, maka negara belum benar-benar hadir di sana. Proyek besar dan narasi digitalisasi tak cukup jika tak menjawab kebutuhan mereka yang paling tertinggal.

Pertanyaannya: sampai kapan konektivitas kita setengah hati?

Ā 

Korespondensi Penulis

Daftar Literatur:

  • Bappenas. (2023). Laporan Tahunan Pembangunan Desa Digital. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI.

  • Kominfo. (2023). Data Cakupan Akses Internet Desa 3T. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

  • Kominfo. (2024). Dampak Sosial Kehadiran Internet di Wilayah Terpencil: Studi Kasus Papua. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

  • World Bank. (2022). Digital Economy for Development: How Internet Infrastructure Boosts Growth in Emerging Markets. World Bank Publications.

  • Kementerian Dalam Negeri & Kominfo. (2023). Evaluasi Program 100 Smart City: Capaian dan Tantangan. Jakarta: Kemendagri.

  • World Bank & LPEM FEB UI. (2025). Outlook Ekonomi Indonesia 2025. Jakarta: LPEM FEB UI.

  • Kementerian Keuangan. (2024). Outlook Belanja Infrastruktur APBN 2024. Jakarta: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro.

Ā 
Ā 
Ā 

Commenti


© 2025 by Pusat Studi Infrastruktur Indonesia

bottom of page