top of page

Tantangan Sistem Perkotaan dan Kebencanaandalam Konteks Perencanaan Spasial

National Urban Forum Webinar Working Group 3: Spatial Development

National Urban Forum

National Urban Forum (NUF) merupakan wadah inklusif pada level nasional yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk membentuk visi bagi pengembangan kota yang berkelanjutan sejalan dengan New Urban Agenda and Sustainable Development Goals (SDGs). Pada tahun ini, kegiatan NUF juga dilakukan untuk mengintegrasikan rangkaian acara perayaan Hari Habitat Dunia - Hari Kota Dunia 2023 di Indonesia.


Latar belakang dari adanya NUF berawal dari permasalahan kemiskinan dan ketidaksetaraan di kota yang disebabkan laju urbanisasi yang tinggi, sehingga adanya implementasi NUA dengan prinsip “Leave No One Behind” yang menyoroti inklusivitas dan menghindari segregasi. Berkenaan dengan itu, PBB juga menetapkan rangkaian Hari Habitat Dunia setiap bulan Oktober sebagai refleksi kondisi kota dunia dan pemenuhan hak dasar penduduk atas tempat tinggal yang layak, hal ini mendorong Seknas Habitat di Indonesia sebagai knowledge hub dalam penyebaran capaian dari isu perumahan/permukiman dan mengikutsertakan berbagai stakeholder hingga masyarakat umum untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif.


Isu, Tantangan, dan Konsep Sistem Perkotaan

di Indonesia

Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia dan lebih dari 57% dari penduduknya tinggal di kota. Kota merupakan salah satu tolak ukur untuk melihat daya saing suatu negara, dan dalam beberapa versi peta dunia terkait daya saing perkotaan seperti knowledge center dan smart city, Indonesia tidak ada di dalam peta tersebut.


Isu yang sangat berkaitan dengan perkotaan adalah urbanisasi, banyak yang menilai urbanisasi berkaitan dengan fenomena kemiskinan, ketimpangan, dan konsumsi lahan pertanian yang besar. Padahal di beberapa negara, urbanisasi mampu menjadi daya ungkit untuk mempercepat kemajuan ekonomi seperti halnya di Cina dan India melalui penerapan kebijakan urbanisasi sebagai faktor utama untuk mendorong kemajuan ekonomi. Sementara di negara-negara Eropa Tengah dan Utara, laju urbanisasi mampu menjadi hinterland kota besar di sekitarnya dan tidak menunjukkan ketimpangan yang mencolok dengan kota yang ditopang. Lalu di negara-negara eksportir hasil pertanian terbesar seperti AS, Australia, dan Israel adalah negara-negara dengan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi namun dapat menstabilkan produktivitas lahan pertaniannya. Dari contoh beberapa negara tersebut, dapat disimpulkan bahwa urbanisasi bukanlah penyebab utama dari masalah-masalah perkotaan seperti yang diasumsikan oleh banyak orang.

Kesalahpahaman tersebut menandakan bahwa adanya tantangan urbanisasi di Indonesia seperti pembangunan sosial dan institusi lebih lambat dari pertumbuhan fisik dan ekonomi, ketimpangan antara kota-kota besar dengan kota-kota kecil/sedang, peran swasta yang lebih banyak dibanding peran pemerintah, dan informalitas pengelolaan perkotaan. Selain itu di Indonesia sering memaknai kota sebagai morfologis “Space of place” yang fokus terhadap konsentrasi bangunan/infrastruktur /cahaya malam (fisik), penduduk (sosial), dan kapital (ekonomi), padahal untuk sekarang sangat penting untuk memaknai kota sebagai relasional “Space of flows” yang fokus terhadap konsentrasi aliran/relasi SDA (fisik, orang/informasi (sosial), dan barang (ekonomi).

Jika dilihat dari perkembangan kota di Indonesia, ada 3 hal yang saling berinteraksi yaitu institusi/kelembagaan, morfologi/fisik, dan pergerakan/sistemnya. Dalam sistem perkotaan di indonesia terbagi menjadi 3:

  1. Economically driven/organic, paling banyak di kota-kota di Indonesia, persoalannya meliputi komuter, migrasi, daya saing, keberlanjutan, dan kelembagaan

  2. Economically driven/organic, paling banyak di kota-kota di Indonesia, persoalannya meliputi komuter, migrasi, daya saing, keberlanjutan, dan kelembagaan

  3. Physically/property driven, banyak di otonomi-otonomi daerah, persoalannya meliputi fragmentasi ruang, segregasi, dan identitas

Skala sistem kota semakin hari semakin multilayer baik secara fisik, ekonomi, dan tata kelola nya, semakin besar lingkupnya maka semakin kompleks juga urusan tata pengelolaan perkotaannya karena interaksi yang terjadi bukan hanya antar kota besar dan kota kecil, namun juga terjadi antar metropolitan bahkan antara kawasan perkotaan besar.

Kawasan metropolitan yang merupakan kawasan yang dikelilingi kawasan pinggiran atau jejaring kota-kota yang berdekatan dan saling menunjang (kota-kota satelit) memiliki permasalahan yang harus dievaluasi yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan koordinasi horizontal antara lembaga-lembaga lokal. Jika ditarik lebih jauh, pada kenyataannya persoalan perkotaan di Indonesia tidak hanya berhenti di Kawasan Metropolitan, dengan adanya pembangunan jalan tol, kereta cepat, dan lain sebagainya menyebabkan interaksi antar metropolitan (Mega-urban) menjadi sebuah bom waktu seperti persoalan interaksi Jakarta-Bandung, Surabaya-Malang, Balikpapan-Samarinda, dan lain sebagainya. Dalam persoalan interaksi antar kawasan metropolitan akan muncul isu-isu seperti alih fungsi lahan, koordinasi antar berbagai sektor.

Dengan adanya kawasan mega-urban, jaringan (koridor) antar wilayah mega-urban (Megaregion) menjadi alasan adanya berbagai mega proyek nasional seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kota Transit, dan lain-lain akan menjadi sistem spasial lintas kawasan mega-urban. Berbicara mengenai pembangunan high-speed railways, permasalahan megaregion ini merupakan platform yang tepat untuk pembangunan high-speed railways tersebut. Di samping hal tersebut, megaregion ini juga berpotensi memunculkan isu-isu seperti isu ekologi, ketahanan pangan, energi-air, ketimpangan wilayah, daya saing wilayah, hingga isu koordinasi vertikal (nasional-lokal).

Beralih ke struktur sistem kota, di Indonesia sistem spasial cenderung berbasis pada monosentrik pada skala lokal-regional (kawasan) dan untuk skala yang lebih luas regional-interregional (sistem) lebih mengikuti sistem hierarkis. Mengevaluasi hal tersebut, sistem perkotaan yang polisentrik seperti Rebana dan konsep Triangle di IKN itu menjawab tantangan-tantangan yang ada di sistem perkotaan yang ada sekarang. Seperti Jabodetabek sudah mengindikasikan sistem perkotaan yang bukan monosentrik, namun konstruksi kebijakan spasial kita masih cenderung kepada monosentrik dengan melihat Jakarta sebagai pusat dari kawasan sekitarnya. Untuk permasalahan lintas kota, jejaring antar kota baik fisik (jalan, listrik, komunikasi) maupun non fisik (interaksi aktor dan lembaga) harus diperhatikan.

Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia perkembangan spasial di Indonesia berbentuk akan cenderung berbentuk koridor. Konsep perencanaan koridor perencanaan memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, koridor perkotaan ini merupakan konsep perkotaan yang anti-sprawl yang bersifat alamiah/mudah dibangun di Indonesia karena berbentuk kepulauan. Selain itu terdapat efisiensi/konektivitas/daya saing melalui infrastruktur dan aksesibilitas yang mendorong pemerataan karena berpotensi membentuk pusat pertumbuhan baru, rantai pasok, dan hinterland. Di samping itu, koridor perkotaan juga berpotensi untuk menyebabkan terjadinya konurbasi (penyatuan fisik kota) dan meningkatkan segregasi sosio-spasial, pengembangannya juga mudah didikte oleh pasar baik pasar regional maupun global dan pengelolaan dari konsep koridor perkotaan ini cukup kompleks karena cenderung lintas administrasi. Sehingga dari kelebihan dan kekurangan tersebut perlu dikaji lebih mendalam untuk mencari pola yang paling sustainable dan menguntungkan.


Sudut Pandang Sistem Perkotaan dalam Perencanaan Spasial

Perkembangan urbanisasi di Indonesia sangat tinggi dan diperkirakan oleh Bappenas hingga 80% pada periode lalu dan sekarang diturunkan di angka sekitar 60% Sebagian besar dari urbanisasi ini juga adalah munculnya perkotaan di Jawa, Sumatera Selatan, dan beberapa di Sulawesi. Dengan munculnya IKN juga merupakan pemicu percepatan pengembangan perkotaan di Kalimantan.

Di berbagai negara, terkait urbanisasi ada yang dinamakan primate city atau kota pertama (Indonesia: Jakarta) yang memiliki jumlah penduduk sekitar 2 kali lipat dari kota kedua di negara tersebut. Primate city ini merupakan bagian penting dari kontribusi ekonomi negara, dalam konteks Indonesia terdapat Kota Jakarta dan Surabaya yang berpotensi terbentuknya koridor di pantai utara. Di Jakarta sudah berkembang urban regions dengan employment center yang berpotensi menjadi metropolitan baru.

Kondisi land market di Indonesia yang sangat luar biasa berimplikasi dengan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan, maka harus diperhatikan khususnya pada ketersediaan lahan seperti lahan pangan dan lain sebagainya karena industrialisasi di Indonesia terus berkembang. Namun di dalam konteks kontribusi ekonomi, yang menunjukan peningkatan di tren terakhir adalah sektor pangan, sedangkan di dalam sektor industri pengolahan malah menunjukan tren menurun. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan koridor dari Jakarta ke timur perlu diperhatikan, sektor yang sedang dikembangkan adalah sektor industri, namun pada kenyataannya sektor industri banyak menyebabkan kerugian hingga akhirnya yang banyak dikembangkan adalah bisnis properti yang nantinya berpotensi menyebabkan permasalahan pada air bersih dan persampahan.

Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pengembangan perkotaan tersebut, terdapat 7 KSN perkotaan dari total 76 KSN di dalam PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional dan terdapat pengembangan berbagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan industri (KI) di sepanjang jalur dari mulai Cilegon hingga Surabaya menjadi salah satu pendorong terbentuknya sebuah koridor metropolitan. Di Indonesia secara hierarki memiliki pusat-pusat pelayanan dari mulai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), hingga Pusat Kegiatan Lokal (PKL). PKN di Indonesia terdiri dari Ibu Kota Provinsi yang mestinya antar PKN ini terhubung dengan sistem jaringan seperti jalan atau rel kereta api agar kegiatan ekonomi bisa tumbuh dan berjalan. Namun dengan adanya infrastruktur penghubung tersebut, akan berdampak juga pada hilangnya koneksi hierarkinya. Pengembangan koridor perkotaan ini selain sudah ada di Jawa, telah berjalan di Sumatera dan diperkirakan akan terjadi di Kalimantan. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan koridor perkotaan ini perlu diperhatikan dengan berbagai potensi tadi agar dapat tetap sustainable untuk kedepannya.


Pengelolaan Risiko dalam Pengembangan Spasial

Salah satu tantangan pengembangan perkotaan di Indonesia adalah adanya banyak kejadian bencana. Kejadian bencana terdiri dari 2 faktor utama yaitu kerentanan dan ancaman/bahaya, kedua faktor utama dari bencana tersebut harus bertemu dalam 1 waktu yang sama sehingga bencana dapat terjadi. Di dalam konteks pengelolaan risiko, pengembangan dilakukan dengan mencoba untuk menghindari kedua faktor tersebut yang terdiri dari menurunkan kerentanan dan mengurangi potensi

terjadinya ancaman (beberapa bencana, potensi ancaman

tidak bisa dikurangi seperti gempa).

Di dalam konteks SDGs, kebencanaan sudah menjadi perhatian dunia bahwa resiliensi harus masuk ke dalam sustainabilitas. Resiliensi terdiri dari 3 kata kunci, yang pertama adalah bagaimana ketika bencana terjadi bisa meredam kejutan-kejutan akibat dari bencana tersebut sehingga tingkat stress warga atau dampak lain dari bencana bisa dikurangi. Lalu yang kedua adalah bagaimana kita bisa kembali lagi kepada situasi normal atau bahkan kepada situasi yang lebih baik lagi. Kata kunci ketiga terkait learning and adaptation atau belajar untuk menghadapi bencana-bencana berikutnya. Dalam pemahaman sustainable development sekarang telah dimasukan faktor resiliensi, khususnya pada bagaimana kita bisa mencegah dan mengurangi dampak yang dihasilkan oleh sebuah bencana jauh-jauh hari melalui pembangunan yang disertai dengan resiliensi.

Kejadian bencana di Indonesia sangat meningkat tajam dimulai pada tahun 2000-an hingga sekarang. Selain itu, permasalahan emisi di Indonesia juga sama terus meningkat, jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Singapura yang meskipun memiliki lingkungan yang hampir sama, negara-negara ini bisa dibilang berhasil dalam menangani permasalahan emisi. Dalam berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa perubahan iklim dan kebencanaan saling berkaitan dan menjadi tantangan pembangunan di Indonesia untuk kedepannya. Salah satu permasalahan lain dalam pembangunan di Indonesia adalah adanya Urban Heat Island berkaitan dengan meningkatnya run-off yang berpotensi menyebabkan banjir.

Untuk menghindari isu dan permasalahan tersebut, maka pengembangan kota-kota di Indonesia harus dipersiapkan. Pertama dengan kampanye terkait pentingnya pemahaman isu dan permasalahan risiko bencana baik bersama masyarakat maupun dengan berbagai pihak lainnya. Selanjutnya adalah dengan mengintegrasikan faktor risiko ke dalam perencanaan salah satunya dengan menyusun rencana penanggulangan bencana dan kajian risiko bencana yang baik yang sering kali pada pengembangan tata ruang sebuah kota tidak diikutsertakan. Selain itu, pentingnya me-manage proses pembangunan untuk menghindari adanya risiko.

Evaluasi dalam rencana juga penting dilakukan, dalam sistem perencanaan di Indonesia dilakukan sebanyak 1 kali dalam 5 tahun dan bisa lebih, namun perlu diperhatikan lagi apakah evaluasi tersebut bersifat objektif terhadap pengurangan risiko. Selain itu, sangat penting untuk mengkaji kembali kebijakan bangunan di kota-kota di Indonesia. Di Surabaya dalam merespon adanya banjir, ada regulasi untuk mengurangi beban drainase kota dengan mengakomodasi air limpasan dengan menyediakan kolam tampung (long storage).

Lalu dari sisi emergency response, kota-kota di Indonesia harus didesain untuk bisa mem-backup situasi kedaruratan terutama kota-kota yang pernah mengalami bencana karena berpotensi mengalami bencana serupa. Dari sisi regulasi bisa mendorong kavling-kavling besar untuk menyediakan infrastruktur dasar seperti air bersih dalam peningkatan volumenya sehingga didapat back up untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Edukasi kepada masyarakat juga sangat penting karena salah satu faktor kerentanan adalah kerentanan sosial yang di dalam konteks pengembangan kota adalah kerentanan dari masyarakat kota itu sendiri agar memiliki kapasitas terkait ketahanan bencana.


Sudut Pandang Kebencanaan dalam Perencanaan Spasial

Berdasarkan data dari BMKG pada tahun 2020-2030 ada peningkatan suhu udara di Indonesia, dan juga ada prediksi kecenderungan musim kemarau akan semakin panjang dan pergantian musim tidak menentu lalu ketika musim hujan datang itu akan langsung lebat. Perubahan-perubahan ini tentunya akan berdampak pada kerentanan kota-kota di Indonesia. Selain itu, ada beberapa isu strategis dalam lingkungan hidup dan bencana, antara lain:

  • Deplesi SDA dan Degradasi Kualitas Lingkungan Hidup

  • Meningkatnya Pelanggaran Hukum SDA dan Lingkungan Hidup

  • Tingginya Kerentanan dan Risiko Bencana

  • Peningkatan Potensi Dampak dan Bahaya Perubahan Iklim

  • Perlunya Penanganan Perubahan Iklim yang Lebih Holistik

Upaya pengurangan risiko bencana dan pengelolaan kebencanaan di ranah perencanaan spasial tidak jauh dari teori resilien yang mengacu pada bagaimana alam menyeimbangkan dirinya. Teori ini tidak hanya ditekankan kepada ekologi saja, namun juga pada sosial-ekologinya atau pada kapasitas masyarakat. Dalam konteks perkotaan, kota yang resilien itu ditekankan kepada kapasitas baik itu kapasitas masyarakat, kelembagaan, ekonomi, dan lain sebagainya. Tingkat resiliensi dari sebuah kota dapat dilihat dari 7 kualitas yang dimiliki antara lain adalah:

  1. Kemampuan untuk mengatur sumber daya

  2. Kekuatan yang meminimalisir kegagalan

  3. Mempunyai kapasitas cadangan

  4. Kemampuan untuk belajar

  5. Memiliki strategi alternatif

  6. Komunikasi dan konsultasi secara inklusif

  7. Sistem yang terpadu

Untuk mewujudkan kota yang resilien, bukan hanya untuk mengurangi risiko, tetapi jangka panjangnya harus juga fokus terhadap peningkatan kesejahteraan/kualitas hidup dari mulai masyarakat hingga keanekaragaman hayati. Dalam upaya pengelolaan bencana juga sudah ada kerangka kebijakan di berbagai level hierarkis di Indonesia, untuk pembiayaannya pun penting untuk ada alokasi baik APBN, APBD, bahkan sampai ke tingkat rumah tangga perlu juga ditingkatkan. Pelaksanaan pengelolaan risiko bencana dapat dilakukan dengan mengintegrasi/mensinergikan antara rencana strategis dengan rencana tata ruang dari level nasional hingga kabupaten/kota. Di dalam perumusan RDTR sudah ada tercantum pengelolaan risiko bencana ini di dalam KLHS terkait climate change dan isu lingkungan lainnya dan ada ketentuan khusus juga terkait kawasan rawan bencana di dalam muatan RDTR agar dapat mengefektifkan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruangnya.


Korespondensi Penyusun

Andhika Dwipayana / dwipayanaandhika@gmail.com

Webinar Working Group 3_ Spatial Development NUF
.pdf
Unduh PDF • 687KB



35 tampilan0 komentar
bottom of page