My Items
I'm a title. Click here to edit me.

Menerangi Negeri dari Pinggiran
Makna simbolik berupa pemerataan dan keadilan energi, sederhana tapi dalam Gambar 1. Ilustrasi Keluarga di Desa Menggunakan Lampu Minyak Sumber: Medan Tribunnews, 2018 Ketika kita berbicara tentang listrik, sering kali yang muncul adalah angka: berapa persen rasio elektrifikasi, berapa megawatt kapasitas terpasang, dan berapa triliun rupiah investasi yang sudah dikucurkan. Namun di balik deretan angka itu, ada wajah-wajah di ujung negeri yang hidupnya masih bergantung pada genset, lampu minyak, atau panel surya kecil yang hanya menyala beberapa jam setiap malam. Pemerintah melalui Kementerian ESDM mencatat rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,83 persen pada akhir 2024. Capaian ini patut dihargai, tetapi jika dilihat lebih dalam, masih ada sekitar 500 ribu rumah tangga di wilayah timur Indonesia yang belum menikmati listrik secara stabil. Sebagian besar berada di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara, daerah yang tidak hanya jauh secara geografis tetapi juga tertinggal dalam struktur ekonomi dan infrastruktur dasar (Kementerian ESDM, 2024; PLN, 2025). Dari sisi infrastruktur dan kebijakan publik, saya melihat isu listrik bukan semata urusan teknis, tetapi juga soal keadilan dan martabat . Akses energi adalah hak dasar manusia modern. Ia menentukan peluang pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Ketika sebuah desa masih gelap, sesungguhnya kita sedang menyaksikan bagian dari bangsa yang belum sepenuhnya hadir dalam abad ke-21. Dari sisi teknis, pemerataan listrik di Indonesia adalah pekerjaan yang rumit. Kondisi geografis yang tersebar membuat biaya koneksi antar-pulau dan antar-desa bisa mencapai tiga sampai lima kali lipat dibandingkan di Jawa. Di banyak daerah, memperluas jaringan utama tidak ekonomis, sehingga solusi mini-grid , mikrohidro , atau panel surya hibrida menjadi lebih masuk akal. Menurut Bank Dunia (2021), untuk menutup celah menuju elektrifikasi penuh, Indonesia masih membutuhkan investasi sekitar 2,4 miliar dolar AS . Masalah utamanya bukan hanya pendanaan, melainkan keberlanjutan operasional. Banyak proyek listrik skala kecil berhenti berfungsi setelah dua atau tiga tahun karena tidak ada dana pemeliharaan, tidak ada pelatihan teknisi lokal, atau tidak ada lembaga desa yang siap mengelola. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur tanpa kesiapan sosial hanya menghasilkan penerangan sementara. Dari sisi ilmu Engineering , saya belajar bahwa sistem kelistrikan tidak bisa diukur hanya dari jumlah sambungan. Ia harus tangguh dan cerdas agar bisa bertahan di tengah kondisi alam yang berubah. Kita tidak bisa terus menggunakan model pembangunan linear yang hanya mengejar target jangka pendek tanpa memperhitungkan perawatan. Apalagi dengan meningkatnya risiko bencana dan perubahan iklim yang kian sering merusak jaringan transmisi di daerah terpencil. Dari kacamata ekonomi, listrik seharusnya menjadi penggerak produktivitas. Namun di banyak wilayah pinggiran, listrik baru dimanfaatkan untuk penerangan dasar, bukan kegiatan ekonomi. Ini terjadi karena tidak ada dukungan ekosistem yang memadai. Akses ke pasar, permodalan, dan pelatihan masih terbatas. Akibatnya, listrik hadir tanpa memberikan efek berganda yang nyata bagi masyarakat. Kebijakan publik sering terjebak dalam logika kuantitatif . Kita merasa puas ketika angka elektrifikasi naik, padahal yang perlu diukur adalah kualitas layanan. Berapa jam listrik menyala setiap hari, berapa kapasitas daya yang tersedia per rumah tangga, dan apakah listrik benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Karena itu, saya percaya kebijakan energi perlu berani keluar dari pola seragam nasional. Pemerataan listrik tidak bisa diselesaikan dengan satu formula yang berlaku di seluruh daerah. Pendekatan berbasis wilayah dan sosial ekonomi lebih relevan. Investasi publik dapat dikombinasikan dengan blended finance yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan lembaga donor, dengan logika keadilan sosial, bukan hanya pengembalian modal (World Bank, 2025). Gambar 2. Ilustrasi Kehidupan Sehari-hari Tanpa Listrik Sumber: BBC News Indonesia, 2021 Sebagai pemerhati sosial, saya melihat ketimpangan energi berdampak bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga pada psikologi sosial . Hidup tanpa listrik berarti hidup dalam keterbatasan ruang dan waktu. Anak-anak belajar di bawah cahaya redup, ibu kesulitan menyimpan bahan makanan, dan masyarakat kehilangan kesempatan untuk terhubung dengan dunia digital. Dalam jangka panjang, kondisi ini menumbuhkan rasa terisolasi dan tidak berdaya. Luka sosial seperti ini tidak tercatat dalam statistik pembangunan. Sebagai aktivis kesehatan mental, saya percaya pembangunan yang berkeadilan harus mengembalikan rasa bermartabat masyarakat. Listrik adalah simbol harapan. Ketika desa gelap menjadi terang, muncul perasaan bahwa mereka tidak dilupakan. Akses energi yang berkelanjutan dapat menurunkan stres sosial, memperkuat hubungan keluarga, dan menumbuhkan kepercayaan diri kolektif. Sejumlah studi juga menunjukkan adanya korelasi antara keandalan listrik dan penurunan tekanan psikologis di masyarakat pedesaan. Untuk benar-benar menerangi negeri dari pinggiran, ada beberapa langkah yang menurut saya perlu ditempuh. Pemerintah harus menambah indikator kualitas layanan listrik , bukan hanya angka elektrifikasi. Data tentang lama menyala, kestabilan tegangan, dan harga efektif harus menjadi bagian dari target nasional. Keterlibatan masyarakat lokal harus menjadi inti dari setiap proyek. Tanpa pelatihan teknis dan dukungan kelembagaan desa, infrastruktur mudah rusak. Insentif pembiayaan sosial perlu diperluas. Skema blended finance dan subsidi diferensial dapat membuat proyek di wilayah terpencil tetap menarik bagi investor. Pengukuran kesejahteraan sosial dan kesehatan mental perlu dimasukkan dalam evaluasi proyek energi. Karena manfaat listrik tidak berhenti pada arus dan tegangan, tetapi menjalar pada rasa aman dan kualitas hidup. Cahaya selalu menjadi simbol kemajuan, namun juga cermin ketimpangan. Di kota, kita menekan saklar dan terang seketika. Di banyak pulau kecil, saklar itu tidak bekerja dan malam tetap panjang. Menerangi negeri dari pinggiran bukan sekadar menambah kapasitas daya, tetapi menyalakan harapan yang adil. Keadilan energi adalah bentuk nyata dari keadilan sosial, dan mungkin salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kesehatan bangsa ini, lahir dan batin. Korespondensi Penulis: Yudistira Widi Pratomo/yudistiwp@gmail.com Daftar Literatur BBC News Indonesia. (2021, July 9). Listrik di desa: Masih ada jutaan warga Indonesia hidup tanpa aliran listrik. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57766814 Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2024). Buku Statistik Ketenagalistrikan 2024 . https://gatrik.esdm.go.id/assets/uploads/download_index/files/91fa8-buku-statistik-ketenagalistrikan-2024.pdf Medan Tribunnews. (2018, August 12). Anak-anak di Samosir belajar gunakan lampu teplok, Bupati: Ada 816 keluarga belum dialiri listrik. https://medan.tribunnews.com/2018/08/12/anak-anak-di-samosir-belajar-gunakan-lampu-teplok-bupati-ada-816-keluarga-belum-dialiri-listrik PT PLN (Persero). (2025, 15 Januari). Wujud Negara Hadir, Pemerintah dan PLN Berhasil Listriki 99,92 Persen Desa di Seluruh Indonesia [siaran pers]. https://web.pln.co.id/cms/media/siaran-pers/2025/01/wujud-negara-hadir-pemerintah-dan-pln-berhasil-listriki-9992-persen-desa-di-seluruh-indonesia/ World Bank. (2021). Indonesia Sustainable Least-cost Electrification (ISLE) — Project/Program document . World Bank. https://documents1.worldbank.org/curated/en/099060223111034380/pdf/P1743500d92d28050b90b0e4ff4b6ea41d.pdf International Energy Agency (IEA). (2024). Access to electricity — SDG7: Data and projections . https://www.iea.org/reports/sdg7-data-and-projections/access-to-electricity World Bank. (2025, 16 June). World Bank joins $2.13 bln blended finance package for Indonesia [news]. Reuters/World Bank coverage. https://www.reuters.com/sustainability/climate-energy/world-bank-joins-213-blended-finance-package-indonesia-2025-06-16/

Transportasi Tangguh Iklim: Menjawab Tantangan Mobilitas di Era Krisis Lingkungan
Gambar 1. Ilustrasi aktivitas bersepeda sebagai bagian dari transportasi berkelanjutan Sumber: Canva Transportasi tangguh iklim merupakan sebuah konsep yang mengacu pada sistem transportasi yang dirancang untuk beroperasi secara efektif dan berkelanjutan, bahkan dalam kondisi lingkungan yang berubah akibat krisis iklim. Hal ini mencakup berbagai strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, meningkatkan ketahanan infrastruktur transportasi terhadap dampak perubahan iklim, dan mempromosikan mobilitas yang lebih bersih dan berkelanjutan. Adapun tantangan krisis lingkungan dalam transportasi yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini meliputi: Emisi Gas Rumah Kaca (GRK): Sektor transportasi adalah penyumbang utama emisi GRK yang menyebabkan perubahan iklim. Polusi Udara: Transportasi, terutama kendaraan bermotor, berkontribusi pada polusi udara yang berdampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan. Fragmentasi Habitat: Pembangunan infrastruktur transportasi dapat memisahkan habitat alami, mengganggu ekosistem, dan mengurangi keanekaragaman hayati. Perubahan Iklim Ekstrem: Perubahan iklim menyebabkan cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan gelombang panas yang dapat merusak infrastruktur transportasi dan mengganggu operasionalnya. Transportasi tangguh iklim merupakan solusi penting untuk mengatasi tantangan lingkungan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Dengan mengadopsi solusi-solusi tersebut, maka kita dapat menciptakan sistem transportasi yang lebih bersih, efisien, dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik. Adapun tujuan transportasi tangguh iklim, yaitu sebagai berikut: Mengurangi Emisi GRK: Mengurangi emisi GRK dari sektor transportasi melalui penggunaan energi bersih, kendaraan listrik, dan peningkatan efisiensi bahan bakar. Meningkatkan Ketahanan Infrastruktur: Membangun infrastruktur transportasi yang tahan terhadap dampak perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan gelombang panas. Mempromosikan Mobilitas Berkelanjutan: Mendorong penggunaan transportasi publik, bersepeda, berjalan kaki, dan berbagi kendaraan untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Adaptasi: Mengembangkan strategi adaptasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim pada sistem transportasi, seperti perbaikan sistem drainase, peningkatan sistem peringatan dini, dan pengembangan moda transportasi alternatif. Beberapa solusi juga perlu dilakukan untuk membentuk suatu sistem transportasi tangguh iklim yang dapat dilakukan dengan mencipatkan langkah-langkah sebagai berikut: Kendaraan Listrik (EV): Mengganti kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi GRK. Transportasi Publik Berkelanjutan: Meningkatkan kualitas dan ketersediaan transportasi publik, seperti bus, kereta api, dan transportasi berbasis rel lainnya, untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Infrastruktur Bersepeda dan Berjalan Kaki: Membangun jalur sepeda dan trotoar yang aman dan nyaman untuk mendorong penggunaan sepeda dan berjalan kaki. Sistem Pembagian Kendaraan (Car Sharing): Memfasilitasi sistem pembagian kendaraan untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan. Pemanfaatan Teknologi: Mengembangkan dan menerapkan teknologi transportasi cerdas, seperti sistem manajemen lalu lintas cerdas dan aplikasi navigasi, untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi kemacetan. Perencanaan Tata Ruang yang Berkelanjutan: Menerapkan perencanaan tata ruang yang mendukung pembangunan kota yang berorientasi pada transportasi publik dan mobilitas berkelanjutan. Penggunaan Bahan Bakar Alternatif: Mengembangkan dan menggunakan bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti biofuel dan hidrogen. Salah satu contoh kota di Indonesia yang saat ini telah menerapkan transportasi tangguh iklim adalah Kota Makassar. Kawasan wisata ikonik Kota Makassar, Pantai Losari dikepung air berwarna keruh dengan ketinggian lebih dari 50 cm sehingga mengaburkan batas antara daratan dan lautan. Kondisi ini terjadi pada bulan Februari 2023, Kota Makassar dilanda hujan deras disertai limpasan air laut yang merendam jalan, kawasan permukiman, dan sentra komersial. Jalan-jalan utama di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan tersebut tergenang bahkan permukiman yang selama ini tidak pernah banjir ikut terendam. BPBD Makassar mencatat terdapat sebanyak 86 titik di sejumlah 45 kelurahan yang berada di sejumlah 12 kecamatan di Kota Makassar tergenang banjir dengan ketinggian bervariasi antara 40-170 cm di sejumlah permukiman, sehingga berdampak pada lebih dari 3.000 jiwa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Gambar 2. Peta lokasi evakuasi, titik kumpul, dan jalur evakuasi di Kota Makassar. Sumber: Rencana Kontinjensi Makassar 2014, dikutip dalam Zawani (2023), WRI Indonesia. Saat bencana terjadi, mobilitas masyarakat dan logistik nyaris lumpuh. Hujan badai pun mengganggu dan membahayakan penyeberangan warga yang tinggal di pulau-pulau di sekitar kota. Bencana banjir yang terjadi di sepanjang tahun ini adalah yang terparah dalam 20 tahun terakhir. Terlepas dari minimnya bukti saintifik yang mendasari pernyataan tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa banjir yang kerap mendera Kota Makassar dan banyak kota di Indonesia merupakan manifestasi perubahan iklim yang dampaknya kian dirasakan meluas oleh penduduk perkotaan, termasuk dalam hal ini terhadap sektor transportasi. Selain menerima dampak perubahan iklim, sektor transportasi juga memegang peran penting selama masa tanggap bencana dan pemulihan dampak bencana. Layanan transportasi yang lebih efisien dan responsif terhadap bencana dapat menjadi modal bagi Kota Makassar untuk meminimalkan korban dan mempercepat pemulihan sosial dan ekonomi bagi warga yang terdampak. Pembenahan layanan transportasi adalah salah satu kunci kesiapan menghadapi bencana. Uraian langkah pembenahan sektor transportasi khususnya dalam perbaikan infrastruktur subsektor jalan menjadi hal penting yang dampaknya dirasakan langsung oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagai kota yang memiliki peranan strategis sebagai penghubung sekaligus lokomotif pertumbuhan ekonomi kawasan Indonesia Timur, derap pembangunan Kota Makassar kerap dijadikan rujukan dalam merumuskan kebijakan pengembangan kota pesisir yang berkelanjutan khususnya bagi kota-kota lain di kawasan Indonesia Timur. Korespondensi Penulis Isti Anisya / isti.anisy@gmail.com Daftar Literatur Zawani, H. (2023, Maret 27). Menyiapkan transportasi Kota Makassar yang tangguh terhadap bencana . WRI Indonesia. https://wri-indonesia.org/id/wawasan/menyiapkan-transportasi-kota-makassar-yang-tangguh-terhadap-bencana

Analisis Pergerakan Perkotaan Berbasis Data: Bagaimana Data Mengubah Cara Kita Melihat Kota?
Materi disampaikan oleh Prof. Ronghui Liu (Professor of Networks and Transport Operations Institute for Transport Studies (ITS) University of Leeds) dalam 16 th EASTS Conference 2025 Perkembangan teknologi dan melimpahnya sumber data telah mengubah cara kita memahami pergerakan manusia di perkotaan. Di masa lalu, perencana kota mengandalkan survei manual, travel diary , dan kuesioner yang memberi wawasan mendalam tentang motivasi perjalanan. Namun seringkali mahal, memakan waktu, dan hanya merepresentasikan sebagian kecil populasi. Kini, data dari ponsel, GPS, sensor lalu lintas, dan sistem tiket elektronik menyediakan gambaran yang jauh lebih luas dan dinamis. Kita bisa melihat pola pergerakan orang pada level harian, mingguan, bahkan musiman, serta merespons perubahan itu secara lebih cepat. Gambar 1. Evoluasi Analisis Keruangan dalam Pergerakan Perkotaan Sumber: Materi presentasi Prof. Ronghui Liu, 16th EASTS Conference 2025 Peralihan ini bukan sekadar soal volume data. Yang lebih penting adalah kualitas wawasan yang muncul ketika data spasial dan temporal dipadukan. Sistem Informasi Geografis (GIS) memungkinkan pengaitan data lokasi dengan atribut non-spasial. Sehingga arus manusia dapat dipetakan ke jaringan jalan dan moda transportasi. Teori jaringan menambah dimensi analitis menjadikan stasiun, halte, dan persimpangan sebagai node, sedangkan rute dan ruas jalan menjadi tautan yang dapat dianalisis untuk menemukan titik penentu konektivitas, klaster kemacetan, dan jalur kritis yang memengaruhi seluruh sistem. Dalam praktiknya, manfaat metode berbasis data terasa di banyak tingkatan. Pertama, dalam desain layanan transportasi, analisis aliran penumpang pada jaringan bus atau rel dapat mengungkap tumpang tindih rute, area yang kurang terlayani, atau titik transfer yang menyebabkan keterlambatan berulang. Dengan informasi tersebut, operator dapat merancang ulang rute, menyesuaikan frekuensi layanan, atau menambah layanan pengumpan. Tanpa harus menunggu hasil survei yang memakan waktu. Kedua, pada pengelolaan infrastruktur, simulasi terganggunya ruas jalan akibat bencana atau konstruksi membantu menentukan ruas mana yang paling vital bagi aksesibilitas kota, sehingga perbaikan dan mitigasi prioritas dapat dilakukan secara lebih terencana. Masalah kemacetan pun dapat ditangani lebih sistematis. Data kecepatan dan arus lalu lintas yang dikumpulkan berulang memungkinkan visualisasi kemacetan sebagai fenomena yang berubah sepanjang hari dan minggu. Teknik seperti analisis klaster dan teori perkolasi membantu mengidentifikasi ambang kritis ketika gangguan lokal dapat memicu kemacetan sistemik. Dari situ muncul strategi intervensi yang lebih efektif, bukan sekadar menambah kapasitas jalan, tetapi merancang pergeseran moda, optimasi sinyal, atau kebijakan pembatasan yang menarget titik lemah terbesar. Gambar 2. Visualisasi Distribusi Arus Penumpang dan Indikator Pemusatan Pekerja pada Jam Sibuk di Hari Kerja (7 – 8 pagi) di jaringan tram Amsterdam Sumber: Materi presentasi Prof. Ronghui Liu, 16th EASTS Conference 2025 Gambar 3. Analisis keruangan pada seksi jalan paling kritis di Valencia (kiri) dan Sardinia (kanan) Sumber: Materi presentasi Prof. Ronghui Liu, 16th EASTS Conference 2025 Selain itu, model prediktif berbasis kecerdasan buatan memungkinkan operator memproyeksikan permintaan penumpang dengan akurasi yang meningkat. Prediksi ini berguna untuk penjadwalan dinamis, penempatan armada, dan pengaturan kebijakan tarif yang responsif terhadap kebutuhan nyata. Menariknya, penelitian menunjukkan tingkat prediktabilitas pergerakan individu yang relatif tinggi, seperti banyak orang mengikuti rutinitas yang dapat dikenali. Hal ini membuka peluang untuk merancang layanan yang lebih tepat sasaran selama data tersebut diproses secara anonim dan etis sehingga privasi tetap terjaga. Namun potensi besar ini datang dengan tantangan nyata. Kualitas dan konsistensi data seringkali menjadi penghambat karena sumber data memiliki format, cakupan, dan akurasi yang berbeda. Penggabungan data memerlukan standar interoperabilitas dan proses pembersihan yang cermat. Isu privasi adalah perhatian utama seperti penggunaan data ponsel dan sistem tiket harus diawasi agar tidak melanggar hak individu. Oleh sebab itu, kerangka hukum dan teknik privasi seperti agregasi, pengacakan, dan differential privacy perlu diadopsi untuk memastikan data dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan identitas warga. Lebih jauh lagi, penerapan analitik berbasis data menuntut kerja lintas disiplin. Perubahan kebijakan yang efektif memerlukan kolaborasi antara perencana kota, ilmuwan data, insinyur transportasi, dan pembuat kebijakan. Tanpa sinergi tersebut, hasil analisis mungkin tidak relevan atau sulit diimplementasikan secara operasional. Di level administratif, investasi pada infrastruktur data seperti platform integrasi, kemampuan pemrosesan real time , dan sumber daya manusia terampil juga tak dapat diabaikan. Untuk membuat pendekatan ini berkelanjutan, beberapa langkah praktis bisa diambil. Pertama, pembuat kebijakan perlu menetapkan standar data terbuka yang aman. Data yang disediakan untuk analisis harus bersifat anonim dan mudah diintegrasikan antar instansi. Kedua, uji coba atau pilot project di area terbatas sangat berguna untuk menilai dampak sebelum penerapan skala penuh. Misalnya, pilot integrasi data smart card dan data ponsel pada sebuah koridor angkutan umum dapat menunjukkan bagaimana pola permintaan dan kebutuhan transfer berubah setelah intervensi layanan. Perlu juga ditekankan bahwa solusi berbasis data tidak harus selalu mahal atau kompleks. Banyak intervensi rendah konsumsi data seperti redesain titik transfer, perbaikan informasi rute, atau pengaturan sinyal adaptif berdasarkan data arus kendaraan dapat memberikan manfaat signifikan dengan investasi relatif kecil. Keterlibatan masyarakat melalui portal pelaporan masalah transportasi atau survei singkat berbasis aplikasi juga dapat memperkaya dataset dan meningkatkan legitimasi kebijakan. Akhirnya, suksesnya transformasi digital mobility bergantung pada kepercayaan publik. Transparansi tentang bagaimana data dikumpulkan, diproses, dan digunakan harus menjadi prioritas. Kebijakan yang jelas tentang retensi data, akses publik, dan mekanisme pengawasan independen akan membantu menyeimbangkan manfaat teknis dengan hak privasi warga. Ketika kepercayaan itu terbangun, data tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai sumber daya publik yang dapat memperbaiki kualitas hidup di kota. Secara ringkas, analisis pergerakan perkotaan berbasis data adalah alat transformasional untuk merancang kota yang lebih adaptif, efisien, dan manusiawi. Dengan menggabungkan GIS, teori jaringan, big data , dan kecerdasan buatan, kita dapat memahami dinamika mobilitas pada tingkat yang sebelumnya tidak terbayangkan. Tantangannya yaitu mulai dari kualitas data hingga etika privasi. Tetapi dengan standar yang tepat dan kolaborasi lintas sektor, pendekatan ini bisa menjadi landasan bagi kota yang lebih baik bagi semua warganya. Gambar 4. Kerangka Pengajuan Jaringan MTL Metro Sumber: Materi presentasi Prof. Ronghui Liu, 16th EASTS Conference 2025 Korespondensi Penulis Tanuda Pedro Rusdiono / tanudapedro@gmail.com Artikel ini disusun berdasarkan materi yang disampaikan oleh Prof. Ronghui Liu (Professor of Networks and Transport Operations, Institute for Transport Studies – University of Leeds) pada 16th EASTS Conference 2025 . Daftar Literatur Axhausen, K. W., Zimmermann, A., Schönfelder, S., Rindsfüser, G., & Haupt, T. (2002). Observing the rhythms of daily life: A six-week travel diary. Transportation, 29 (2), 95–124. https://doi.org/10.1023/A:1014247822322 von Behren, S., Chlond, B., & Vortisch, P. (2018, January). Bringing travel behavior and attitudes together: An integrated survey approach for clustering urban mobility types. In Transportation Research Board (TRB) 97th Annual Meeting (pp. 1–16). Transportation Research Board. Fairnie, G. A., Wilby, D., & Saunders, L. E. (2016). Active travel in London: The role of travel survey data in describing population physical activity. Journal of Transport & Health, 3 (2), 161–172. https://doi.org/10.1016/j.jth.2016.02.004 Gao, S. (2015). Spatio-temporal analytics for exploring human mobility patterns and urban dynamics in the mobile age. Spatial Cognition & Computation, 15 (2), 86–114. https://doi.org/10.1080/13875868.2014.999845 Song, C., Qu, Z., Blumm, N., & Barabási, A.-L. (2010). Limits of predictability in human mobility. Science, 327 (5968), 1018–1021. https://doi.org/10.1126/science.1177170 Luo, D., Cats, O., & van Lint, H. (2020). Can passenger flow distribution be estimated solely based on network properties in public transport systems? Transportation, 47 (6), 2719–2743. https://doi.org/10.1007/s11116-019-10016-1

Jalan Panjang Menuju Mobilitas yang Ramah dan Inklusif
Smart Mobility bukan sekadar soal kendaraan, tapi soal keadilan, emisi, dan bagaimana kita hidup bersama Gambar 1. Ilustrasi Smart Mobility Sumber: Ilustrasi Penulis Setiap 10 Agustus, kita memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Di tengah perayaan inovasi dan kemajuan teknologi, muncul pertanyaan mendasar: sudahkah teknologi benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat, atau hanya melaju di atas rel kepentingan segelintir pihak? Dalam sektor transportasi, istilah Smart Mobility kini menjadi jargon utama. Dari kendaraan listrik hingga sistem lalu lintas berbasis kecerdasan buatan, teknologi bergerak cepat. Namun di lapangan, mobilitas masih jadi masalah sosial dan ekologis yang belum terpecahkan. Smart Mobility bukan hanya tentang kecepatan atau efisiensi, tapi soal siapa yang bisa mengaksesnya, dan siapa yang tertinggal di pinggir jalan. Menurut data BPS (2025), lebih dari 25 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Angka ini memang menurun, namun akses mereka terhadap transportasi masih tertinggal jauh. Kendaraan listrik dan infrastruktur digital lebih banyak ditemukan di kota besar dan lingkungan kelas menengah atas. Di desa dan pinggiran kota, warga masih mengandalkan kendaraan konvensional, jalan berlubang, dan angkutan umum yang tidak menentu. Gambar.2 Charging Station Sumber : Kompas Otomotif.com Sementara itu, mobilitas yang canggih kerap dijadikan simbol kemajuan, bukan alat pemerataan. Infrastruktur charging station dan digitalisasi transportasi belum menyentuh wilayah-wilayah miskin. Smart Mobility justru berisiko memperlebar ketimpangan, jika tidak dirancang dengan prinsip inklusivitas dan keadilan sosial. Inilah tantangan besar menuju mobilitas yang ramah dan inklusif. Gambar 3. Ilustrasi Mobilitas Perkotaan yang Berkelanjutan Sumber: Unsplash.com Belajar dari Amsterdam, kota ini tak sekadar mempromosikan kendaraan listrik, melainkan membentuk ulang pola mobilitas warga. Lebih dari separuh perjalanan harian dilakukan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Pemerintah kota aktif membatasi mobil pribadi, memperluas jalur sepeda, dan memperkuat transportasi publik berbasis listrik. Hasilnya, Amsterdam dinobatkan sebagai kota dengan sistem mobilitas paling hijau di dunia oleh GoodStats (2024). Ini bukan semata karena teknologinya, tapi karena orientasi kebijakan yang berpihak pada manusia dan lingkungan. Indonesia pun memiliki visi besar melalui Visi Indonesia 2045. Dalam dokumen ini, pembangunan infrastruktur, penguasaan teknologi, dan keadilan sosial menjadi fondasi Indonesia Emas. Namun, jika transportasi masa depan hanya mengejar elektrifikasi tanpa keadilan akses, maka visi ini berisiko jadi eksklusif. Mobilitas cerdas seharusnya menjadi jembatan menuju kesetaraan, bukan hanya sekadar pencapaian teknologi. Untuk itu, pendekatan kebijakan perlu diubah. Insentif kendaraan pribadi perlu dialihkan pada pembangunan transportasi umum yang ramah lingkungan. Desain kota harus memberi ruang aman bagi pejalan kaki dan pesepeda. Literasi publik soal mobilitas rendah emisi harus diperkuat sejak usia dini. Kota-kota menengah perlu dijadikan pilot project mobilitas inklusif seperti zona rendah emisi dan pusat mobilitas berbasis komunitas (e-hubs). Amsterdam menunjukkan bahwa perubahan mungkin terjadi jika kebijakan dan budaya bergerak seiring. Indonesia bisa meniru pendekatan ini dengan menyesuaikan konteks lokal. Pendekatannya harus berbasis pada integrasi teknologi, kesadaran sosial, dan keberanian politik untuk tidak berpihak pada konsumsi semata. Mobilitas masa depan bukan hanya tentang mengganti bahan bakar, melainkan mengganti cara pandang. Teknologi hanyalah alat, tetapi arah penggunaannya menentukan apakah ia mempersempit atau memperlebar jurang. Jalan menuju mobilitas yang ramah dan inklusif memang panjang, tapi bisa ditempuh jika negara, masyarakat, dan teknologi berjalan bersama. Korespondensi Penulis: Yudistira Widi Pratomo/yudistiwp@gmail.com Daftar Literatur: Bappenas. (2019). Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045 . Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/Policy_Paper/Ringkasan%20Eksekutif%20Visi%20Indonesia%202045_Final.pdf GoodStats. (2024). Auto Adem: Inilah Kota Dunia dengan Sistem Mobilitas Paling Hijau . https://data.goodstats.id/statistic/auto-adem-inilah-kota-dunia-dengan-sistem-mobilitas-paling-hijau-US8fC Sekretariat Negara Republik Indonesia. (2025, Juli 1). Jumlah Penduduk Miskin Turun, Mensesneg: Pemerintah Terus Bekerja Keras Atasi Kemiskinan . https://www.setneg.go.id/baca/index/jumlah_penduduk_miskin_turun_mensesneg_pemerintah_terus_bekerja_keras_atasi_kemiskinan Creutzig, F., Roy, J., Lamb, W. F., Azevedo, I. M. L., Bruin, W. B. de, Dalkmann, H., Edelenbosch, O. Y., Geels, F. W., Grubler, A., Hepburn, C., Hertwich, E. G., Köhler, J., Mattauch, L., Rao, N. D., Steinberger, J. K., Tavoni, M., Ürge-Vorsatz, D., & Weber, E. U. (2021). Towards demand-side solutions for mitigating climate change. Nature Climate Change, 11 (9), 761–768. https://doi.org/10.1038/s41558-021-01061-4 Liao, F., Ettema, D., Molin, E., & van Wee, B. (2023). Mode substitution induced by electric mobility hubs: Results from Amsterdam . arXiv preprint arXiv:2310.19036. https://doi.org/10.48550/arXiv.2310.19036 Peters, J. F., Burguillo, M., & Arranz, J. M. (2021). Low emission zones: Effects on alternative-fuel vehicle uptake and fleet CO₂ emissions . arXiv preprint arXiv:2103.13801. https://doi.org/10.48550/arXiv.2103.13801 Oliver Wyman Forum. (2024). Urban Mobility Readiness Index – Amsterdam . https://www.oliverwymanforum.com/mobility/urban-mobility-readiness-index/amsterdam.html

Bergerak Tanpa Batas: Transportasi Publik Ramah Disabilitas
Mobilitas untuk Semua: Menyorot Pentingnya Transportasi Inklusif Gambar 1. Transportasi Publik Ramah Disabilitas Sumber: PT MRT Jakarta (Perseroda)/Irwan Citrajaya (2023) Aksesibilitas publik sebagai hak asasi setiap warga negara merupakan kunci dalam menciptakan masyarakat yang inklusif. Sejalan dengan target 11.2 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk menyediakan akses terhadap sistem transportasi dengan perhatian khusus pada kebutuhan kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Hak-hak penyandang disabilitas wajib dipenuhi oleh negara dalam penyediaan layanan transportasi publik. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 terkait kewajiban pemerintah dalam menyediakan pelayanan transportasi publik yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Mengutip Badan Pusat Statistik (2024), angka prevalensi disabilitas tipe 1 secara nasional adalah 6,42%, dengan 18 provinsi di atas rata-rata nasional dan 16 provinsi di bawah rata-rata nasional. Selanjutnya, angka prevalensi disabilitas tipe 3 secara nasional adalah 1,43% dengan 16 provinsi di atas rata-rata nasional dan 18 provinsi di bawah rata-rata nasional. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa jutaan warga Indonesia hidup sebagai penyandang disabilitas dan berpotensi mengalami hambatan dalam mengakses layanan transportasi publik. Hambatan yang Masih Nyata: Tantangan Transportasi Publik di Indonesia Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan nyata dalam upaya membangun ekosistem transportasi yang ramah disabilitas. Mengutip dari Wilfandi (2024), terdapat berbagai tantangan signifikan bagi penyandang disabilitas dalam mengakses layanan transportasi publik baik dalam aspek fisik maupun nonfisik. Tantangan tersebut di antaranya kondisi infrastruktur publik yang tidak mendukung aksesibilitas penyandang disabilitas, seperti trotoar yang tidak dilengkapi dengan guiding block untuk penyandang disabilitas netra. Selanjutnya, fasilitas pendukung dalam transportasi publik yang kurang layak dan memadai yang ditunjukkan dengan tidak tersedianya tanda bantu seperti guiding block, ramp, lift prioritas, serta informasi visual dan audio. Tantangan berikutnya, kurangnya kesadaran masyarakat umum akan pentingnya aksesbilitas inklusif yang terlihat dari penggunaan fasilitas prioritas oleh yang tidak membutuhkan seperti penggunaan parkir dan tempat duduk khusus penyandang disabilitas oleh masyarakat umum. Hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam mengakses layanan transportasi publik. Gambar 2. Halte Trans Jogja Tanpa Jalur Kursi Roda Sumber: iNews.id/Yohanes Demo (2023) Sebagai contohnya, transportasi publik di Yogyakarta masih mengalami berbagai kendala dalam aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Dilansir dari Fatimah (2024), bus Trans Jogja sebagai salah satu layanan transportasi publik di Yogyakarta belum sepenuhnya layak bagi penyandang disabilitas. Jarak antara landasan bus (peron) dan pintu bus sulit diakses oleh penyandang disabilitas karena berjarak cukup jauh sekitar satu orang dewasa (±1 meter). Selain itu, banyak halte bus yang hanya menyediakan tangga dan tidak menyediakan ramp sehingga sulit diakses bagi pengguna kursi roda. Tanda bantu sebagai fasilitas pendukung layanan bus juga masih belum memadai seperti posisi barcode rute Trans Jogja yang terlalu tinggi sehingga sulit diakses pengguna kursi roda dan tidak tersedianya tanda bantu huruf braille sehingga penyandang disabilitas netra sulit mengakses layanan informasi. Dari MRT Jakarta hingga TfL: Transportasi Publik yang Ramah Disabilitas Gambar 3. Fasilitas Khusus Penyandang Disabilitas di MRT Jakarta Sumber: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja via detikHealth (2021) Kota inklusif menjamin ketersediaan layanan transportasi publik untuk semua termasuk penyandang disabilitas. Tak terkecuali Jakarta sebagai kota metropolitan dengan sistem transportasi yang kompleks. Meskipun masih menghadapi berbagai hambatan dalam mewujudkan aksesibilitas yang menyeluruh, Jakarta sudah mulai menunjukkan komitmen konkret dalam upaya mendukung transportasi publik yang ramah disabilitas. Mengutip dari Nasrullah (n.d), Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta telah memenuhi standar desain fasilitas untuk penyandang disabilitas berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik indonesia dan Pedoman Akses Bebas Hambatan dari Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi Jepang. Penyandang disabilitas sudah dilibatkan sejak fase desain untuk mendukung wadah bagi kebutuhan semua pihak. Dengan konsep universal design, MRT dapat diakses oleh semua pihak termasuk penyandang disabilitas. Terdapat sekurang-kurangnya 51 kursi khusus penumpang prioritas termasuk penyandang disabilitas serta ketersediaan lift/elevator tepat di depan kereta ketiga dan keempat di area peron pada MRT. Selain itu, infrastruktur pendukung telah disediakan untuk mendukung aksesibilitas penyandang disabilitas, di antaranya blok taktil untuk memandu penyandang disabilitas netra menuju pintu masuk, pintu penumpang khusus di area beranda peron dan toilet khusus untuk pengguna kursi roda, dan parkir khusus penyandang disabilitas. Tak hanya infrastruktur, petugas dengan layanan khusus bagi penyandang disabilitas telah tersedia untuk memberikan bantuan apabila dibutuhkan. Gambar 4. Aksesibilitas Taksi London bagi Pengguna Kursi Roda Sumber: VisitLondon.com/Shutterstock (2023) Melangkah lebih jauh ke London, kota tersebut telah menunjukkan aksi nyata dalam mewujudkan aksesibilitas publik melalui layanan transportasi publik. Dilansir dari Transport for London (n.d), layanan transportasi publik telah menyediakan aksesibilitas yang mudah dijangkau oleh penyandang disabilitas, mulai dari infrastruktur hingga personel. Akses tanpa tangga mencakup ketersediaan lift, ramp, dan permukaan yang rata untuk memudahkan mobilitas pengguna kursi roda. Selain itu, beberapa stasiun menyediakan kursi roda gratis bagi pengguna jasa kereta selama di stasiun. Apabila lift sedang tidak berfungsi, petugas akan membantu merencanakan perjalanan alternatif tanpa tangga dan memesan taksi secara gratis ke stasiun tujuan jika tidak terdapat rute alternatif yang layak. Lebih lanjut, petugas dengan layanan khusus termasuk sopir bus dan tram telah dilatih untuk membantu penumpang yang membutuhkan, seperti membantu penumpang dengan kursi roda melewati ramp. Selain itu, penyandang disabilitas disertai pendamping juga memiliki hak istimewa untuk masuk terlebih dahulu tanpa harus melewati antrean panjang saat di stasiun. Saatnya Bergerak Bersama: Mobilitas Inklusif Adalah Tanggung Jawab Kolektif Transformasi menuju transportasi publik yang inklusif bukan hanya tugas satu pihak, melainkan tugas kolektif seluruh elemen masyarakat. Pemerintah, operator transportasi, sektor swasta, dan masyarakat sipil terutama penyandang disabilitas harus saling bersinergi dalam menciptakan ruang gerak yang setara bagi semua. Komunitas penyandang disabilitas perlu dilibatkan baik dalam perencanaan, pembangunan, maupun evaluasi dalam transportasi inklusif sebagai langkah penting untuk memastikan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi. Melalui kolaborasi yang bermakna, bukan hanya sekadar simbolik, ruang gerak yang setara dan inklusif dapat diwujudkan. Saatnya bergerak untuk semua, karena mobilitas adalah hak semua pihak. Korespondensi Penulis: Ingga Amalia Dewi/ inggaamaliadewi@gmail.com Daftar Literatur Badan Pusat Statistik. (2024). Potret penyandang disabilitas di Indonesia: Hasil long form Sensus Penduduk 2020 (No. Publikasi: 04100.24005). Badan Pusat Statistik. Dinas Perhubungan Aceh. (2024, 15 Juli). Integrasi transportasi yang ramah disabilitas . https://dishub.acehprov.go.id/2024/07/15/integrasi-transportasi-yang-ramah-disabilitas/ Demo, Y. (2023, Agustus 3). Penyandang disabilitas keluhkan halte Trans Jogja belum ramah difabel . iNews.id . https://www.inews.id/news/yogya/penyandang-disabilitas-keluhkan-halte-trans-jogja-belum-ramah-difabel detikHealth. (2021, Desember 3). Serba-serbi peringatan Hari Disabilitas Internasional di Indonesia . https://health.detik.com/fotohealth/d-5839284/serba-serbi-peringatan-hari-disabilitas-internasional-di-indonesia Fatimah, S. (2024, Desember 11). Trans Jogja belum ramah difabel, pengguna kursi roda kesulitan . Tirto.id . https://tirto.id/trans-jogja-belum-ramah-difabel-pengguna-kursi-roda-kesulitan-g6DU Nasrullah. (n.d.). MRT Jakarta, transportasi publik yang ramah bagi penyandang disabilitas . https://jakartamrt.co.id/id/info-terkini/mrt-jakarta-transportasi-publik-yang-ramah-bagi-penyandang-disabilitas PT MRT Jakarta (Perseroda)/Irwan Citrajaya. (2023). Penyediaan ramp di setiap stasiun agar memudahkan pengguna kursi roda masuk ke ratangga [Foto]. Diakses dari https://jakartamrt.co.id/id/info-terkini/mrt-jakarta-membangun-transportasi-publik-yang-inklusif Visit London. (2023). Accessible public transport in London . https://www.visitlondon.com/traveller-information/essential-information/accessible-public-transport-in-london Wilfandi, R. (2024, 24 Desember). Aksesibilitas publik: Tantangan dan solusi bagi penyandang disabilitas . RRI. https://www.rri.co.id/features/1165820/aksesibilitas-publik-tantangan-dan-solusi-bagi-penyandang-disabilitas Transport for London. (n.d.). Transport accessibility . https://tfl.gov.uk/transport-accessibility/

TERHUBUNG UNTUK BERPARTISIPASI: INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI DALAM MENDORONG KETERLIBATAN SOSIAL DI KOTA PINTAR
Landasan Digital Kota Pintar yang Berkelanjutan Gambar 1. Ilustrasi Kota Pintar Sumber: Canva Kota pintar tidak hanya sebagai kota dengan keberadaan infrastruktur digital di dalamnya. Lebih dari itu, kota pintar dirancang untuk mampu membantu berbagai kebutuhan masyarakat serta mengetahui keadaan dan permasalahan kota secara lebih mendalam dengan diikuti tindakan aksi untuk mengatasinya. Dikutip dari Parliamentary Office of Science and Technology (2021), kota pintar mampu mengaitkan berbagai teknologi, khususnya teknologi yang mengumpulkan dan menggunakan data dalam menjawab berbagai tantangan yang mencakup ekonomi, sosial, dan lingkungan. Proyek kota pintar mampu memberikan kemudahan bagi masyarakat dengan pengembangan infrastruktur berbasis teknologi informasi melalui dukungan terhadap partisipasi publik. Konsep yang diterapkan di kota pintar merujuk pada sistem yang diterapkan oleh pemerintahan daerah dalam mengelola masyarakat dengan pengelolaan terhadap sumber daya yang efektif dan efisien. Konsep tersebut menghubungkan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) melalui pengembangan infrastruktur telekomunikasi dengan optimalisasi pelayanan kepada masyarakat serta mendukung pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Tidak hanya soal menara telekomunikasi saja, infrastruktur telekomunikasi juga mencakup jaringan fiber optik, koneksi internet, server data, cloud system, Internet of Things devices, serta semua sistem pendukung digital yang mampu memberikan layanan komunikasi dan pertukaran data. Infrastruktur telekomunikasi merupakan fondasi utama dalam keterhubungan sosial digital. Keberadaan konsep kota pintar diharapkan dapat membangun sistem penyedia informasi kepada masyarakat secara tepat dan aktual. Dengan keterhubungan sosial yang diwujudkan melalui infrastruktur digital dalam kota pintar akan menjadi fondasi dalam munculnya partisipasi publik. Bandung: Teknologi Terhubung, Masyarakat Terlibat Gambar 2. Bandung Command Center (BCC) Pemerintah Kota Bandung Sumber: Mamduh (2015) Kota Bandung, sebuah kota dengan berbagai langkah konkret menuju kota pintar. Dilansir dari Bagaskara (2024), terdapat tiga strategi yang diterapkan Pemerintah Kota Bandung, mencakup pengembangan sumber daya manusia, penyediaan infrastruktur fisik dan digital, serta regulasi. Dikutip dari Bagaskara (2024), pembangunan infrastruktur digital di Bandung di antaranya mempersiapkan jaringan fiber optik yang menghubungkan seluruh kecamatan sehingga bebas dari blank spot. Bandung telah menjadi percontohan nasional dalam peralihan menuju jaringan 5G. Dengan meningkatnya konektivitas digital di Bandung, keterlibatan sosial dan layanan publik menjadi lebih luas pemanfaatannya bagi masyarakat. Selain itu, Bandung memiliki Command Center sebagai pusat kendali digital yang menyediakan layanan darurat 24 jam yang terintegrasi dengan berbagai lembaga, mencakup kepolisian, rumah sakit, dan pemadam kebakaran. Keberadaan Command Center tersebut dapat menjadi jembatan interaksi antara masyarakat dan pemerintah. Melalui sistem pelaporan yang terintegrasi, keterlibatan aktif masyarakat sebagai bentuk nyata dari partisipasi publik yang dimediasi oleh teknologi dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan terhadap pemerintah. Konsep kota pintar menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam mengelola berbagai sumber daya kota, sehingga mampu menguatkan pelayanan publik dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan informasi dari Smart City Bandung (n.d.), Pemerintah Kota Bandung mengembangkan infrastruktur digital terintegrasi melalui platform layanan publik daring yang tersedia di situs resminya. Website resmi tersebut menyajikan berbagai sumber informasi publik transparan dan layanan publik, mencakup aspek layanan, pengaduan, pariwisata, transportasi, hingga kesehatan. Melalui penyediaan pusat data dan akses layanan yang terintegrasi, masyarakat tidak hanya sebagai penerima layanan, namun juga dapat menyampaikan aspirasi dan turut memantau program dan kinerja pemerintah. Hal tersebut dapat memperkuat keterhubungan digital masyarakat dan meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah sehingga dapat meningkatkan partisipasi publik. Semarang: Inovasi Digital, Masyarakat Aktif Berpartisipasi Gambar 3. Tokoh pendukung aplikasi Libas, Kombes Irwan Anwar Sumber: Adhitya Purbaya (2023)) Tak hanya Bandung, Semarang juga menunjukkan komitmen kuat terhadap kota pintar melalui berbagai inovasi digital dan pemanfaatan teknologi terkini. Berbagai upaya konkret mulai diwujudkan untuk meningkatkan layanan publik serta mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Berbagai upaya yang dilakukan mulai dari digitalisasi pelayanan publik hingga pengembangan infrastruktur digital. Dilansir dari Adminsmgkita (2024), Pemerintah Kota Semarang telah menerapkan berbagai aplikasi untuk memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik. Aplikasi “Libas” misalnya, aplikasi akses layanan darurat pada instansi kepolisian. Penggunaan teknologi digital tersebut tidak hanya sebagai bentuk langkah perlindungan terhadap kejahatan, melainkan juga sebagai bentuk partisipasi publik masyarakat terhadap pengamanan kota. Masyarakat aktif melapor, memantau, dan terlibat langsung dalam keamanan kota sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian dan memperkuat solidaritas lokal. Selanjutnya terdapat aplikasi “Lapor Hendi” yang memberikan wadah pelaporan untuk masyarakat terhadap berbagai masalah perkotaan yang dihadapi, seperti keluhan terhadap infrastruktur publik. Melalui kanal aduan dan aspirasi digital yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk aktif berpartisipasi tersebut, lingkungan yang lebih inklusif dan kolaboratif dalam pengelolaan kota dapat diwujudkan. Selanjutnya, dikutip dari Adminsmgkita (2024), terdapat jaringan internet berkecepatan tinggi dan hotspot WiFi gratis di berbagai area publik di Semarang. Keberadaan infrastruktur tersebut mendorong perkembangan ekosistem digital di Semarang. Dengan meningkatnya ekosistem digital, masyarakat dapat memiliki aksesibilitas yang lebih luas untuk memperkuat keterhubungan sosial. Selain itu, Semarang juga mendorong kerja sama dengan berbagai perusahaan tekonologi terkait penggunaan Internet of Things dan Big Data . Melalui penggunaan teknologi, pemerintah dapat mengakses data secara langsung dari berbagai sumber, seperti sensor kota dan pelaporan masyarakat. Hal tersebut memperkuat proses partisipasi publik sehingga proses pengambilan keputusan menjadi lebih efektif dan aktual. Peluang dan Tantangan dalam Kolaborasi Infrastruktur Telekomunikasi dan Sosial Keberadaan infrastruktur telekomunikasi dapat dikaitkan dengan partisipasi sosial di suatu kota. Menurut Parliamentary Office of Science and Technology (2021), kota pintar yang memanfaatkan teknologi dapat mengoptimalkan kualitas hidup masyarakat dengan berbagai cakupan, seperti membuat layanan publik lebih mudah diakses dan dijangkau lebih banyak kalangan. Selain itu, penggunaan teknologi dapat meningkatkan keamanan publik karena memungkinkan pemantauan dan deteksi dini, respons cepat, pengumpulan dan analisis data, serta koordinasi antar lembaga dalam menangani berbagai ancaman, mulai dari tindak kriminal hingga bencana. Selanjutnya, penggunaan teknologi dapat mendukung partisipasi publik dengan akses yang lebih luas serta cepat bagi masyarakat. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan keberadaan platform digital, seperti aplikasi pelaporan masyarakat di Bandung dan Semarang. Selain itu, pengembangan infrastruktur digital di Bandung dan Semarang juga memperkuat konektivitas digital yang mampu menumbuhkan keterhubungan sosial. Kendati demikian, pemanfaatan teknologi komunikasi pada manfaat sosial di kota pintar juga mengalami berbagai tantangan. Tantangan tersebut di antaranya seperti adanya kebutuhan akan infrastruktur yang lebih kuat untuk mendukung kelancaran lalu lintas data sebagaimana pada implementasi pelayanan digital di Bandung dan Semarang. Terdapat beberapa kendala dalam infrastruktur yang harus terus diperbarui seperti keterbatasan bandwitch , server down , serta biaya pemeliharaan. Keterbatasan anggaran dari pemerintah juga menjadi salah satu hambatan dalam pengembangan infrastruktur. Melalui berbagai hambatan teknis tersebut, keterhubungan sosial dapat terkendala karena adanya risiko kesenjangan akses digital sebagai akibat dari terhambatnya pengembangan infrastruktur. Selain itu, keterbatasan kompetensi sumber daya manusia dalam mengakses dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi juga menghambat inovasi dan pelayanan teknologi digital. Selanjutnya, adanya hambatan dalam birokrasi karena kurangnya koordinasi antara petugas internal maupun pusat sehingga pengembangan pemanfaatan teknologi digital dalam partisipasi publik dapat terkendala. Melalui berbagai hambatan nonteknis tersebut, potensi keterhubungan sosial menjadi tidak optimal dan menguatkan potensi minimnya keterlibatan masyarakat. Sinergi Teknologi dan Komunitas untuk Kota Pintar Keberadaan infrastruktur telekomunikasi tidak hanya sebatas tampilan fisik saja, namun keberadaannya dapat membuka jalur konektivitas, bukan hanya antarperangkat, namun juga antarmasyarakat serta antara masyarakat dengan pemerintah. Keterhubungan digital memungkinkan masyarakat tetap saling terhubung dan terlibat aktif dalam kehidupan kota. Tanpa keterhubungan, konsep kota pintar hanyalah sebatas keberadaan teknologi tanpa masyarakat yang benar-benar ikut terlibat. Komunitas tidak hanya menjadi pengguna pasif, namun menjadi penggerak dalam memperkuat kehidupan kota yang lebih cerdas, inklusif, dan responsif. Integrasi antara aspek teknologi, infrastruktur, dan partisipasi masyarakat dalam konsep kota pintar dibutuhkan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Partisipasi aktif semua pihak dibutuhkan baik dari sektor pemerintah, swasta, maupun masyarakat dalam bersinergi untuk mengembangkan inisiatif kota pintar. Korespondensi Penulis: Ingga Amalia Dewi/ inggaamaliadewi@gmail.com Daftar Literatur Adhitya Purbaya, A. (2023, Desember 6). Aplikasi Libas jadi andalan warga Semarang laporkan kejahatan . DetikJateng. https://www.detik.com/jateng/berita/d-7079984/aplikasi-libas-jadi-andalan-warga-semarang-laporkan-kejahatan Adminsmgkita. (2024, November 29). Perkembangan Semarang menuju kota pintar (smart city) . Semarangkita.id . https://semarangkita.id/headline/perkembangan-semarang-menuju-kota-pintar-smart-city/ Bagaskara, B. (2024, November 12). Upaya Kota Bandung wujudkan smart city melalui ragam inovasi . DetikJabar. https://www.detik.com/jabar/berita/d-7634720/upaya-kota-bandung-wujudkan-smart-city-melalui-ragam-inovasi Medcom.id/Mamduh . (2015, April 23). Mengunjungi Bandung Command Center . Medcom.id . https://www.medcom.id/teknologi/news-teknologi/GNlOovgK-mengunjungi-bandung-command-center Smart City Bandung. (n.d.). Portal resmi Smart City Kota Bandung . Pemerintah Kota Bandung. Retrieved June 24, 2025, from https://smartcity.bandung.go.id/ Parliamentary Office of Science and Technology. (2021, September). Smart cities (POSTnote No. 656). Researched by Philippa Kearney. Co-authored by Lydia Harriss. UK Parliament. https://researchbriefings.files.parliament.uk/documents/POST-PN-0656/POST-PN-0656.pdf

Zero-Carbon, Inclusive by Design: Masa Depan Infrastruktur Telekomunikasi untuk Smart City yang Berkelanjutan
Paradoks Kota Pintar Gambar 1. Ilustrasi Smart City Sumber: Canva Di tengah euforia pembangunan smart city yang digadang-gadang sebagai solusi urban masa depan, ada ironi yang sering luput dari perbincangan: infrastruktur telekomunikasi pendukungnya justru berpotensi menjadi bom waktu ekologis. Laporan The Shift Project (2019) menyebutkan bahwa digitalisasi menyumbang sekitar 4% dari total emisi karbon global—lebih tinggi dari industri penerbangan—dan angkanya bisa melonjak hingga tiga kali lipat pada tahun 2030 jika tidak dikendalikan. Pertanyaannya: bagaimana kita bisa menyebut sebuah kota “pintar” jika listrik untuk menjalankan jutaan sensor IoT, kamera pengawas, dan pusat data-nya masih bergantung pada batubara? Di Indonesia, ambisi smart city telah diterjemahkan dalam berbagai proyek seperti Jakarta Smart City atau Bandung Command Center. Sayangnya, pendekatannya masih didominasi oleh kecepatan layanan dan efisiensi administratif, bukan keberlanjutan. Padahal, studi World Economic Forum (2022) mengingatkan bahwa jaringan 5G yang tidak dirancang dengan prinsip efisiensi energi bisa meningkatkan beban listrik nasional hingga 20% di Asia Tenggara. Sementara itu, ketimpangan akses digital makin terasa: ketika Jakarta mulai uji coba 5G, wilayah terluar Indonesia masih berjuang mendapatkan sinyal 4G yang stabil (Kemenkominfo, 2023). Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan kegagalan visi. Konsep smart city kerap dirayakan sebagai simbol kemajuan, tetapi tanpa pendekatan berkelanjutan, ia hanya akan menjadi “kota pintar” yang haus energi dan eksklusif. Artikel ini mengajak kita melihat paradoks tersebut dan menawarkan pendekatan alternatif: infrastruktur telekomunikasi untuk smart city harus dibangun dengan prinsip zero-carbon, inclusive by design di mana inovasi berjalan beriringan dengan keadilan sosial dan transisi energi. Digitalisasi dan Krisis Iklim: Kenyataan yang Tak Bisa Diabaikan Infrastruktur digital adalah tulang punggung kota pintar. Setiap layanan cerdas, mulai dari manajemen lalu lintas berbasis AI hingga sistem parkir otomatis, bergantung pada koneksi internet, sensor, cloud computing , dan pusat data. Namun, infrastruktur ini tidak bebas jejak karbon. Pusat data global mengonsumsi energi dalam jumlah sangat besar untuk menyimpan dan memproses data, sebagian besar masih dari sumber energi fosil. Menurut IEA (2022), sektor TIK menyumbang sekitar 1,5% dari konsumsi listrik global dan bisa meningkat tajam seiring ekspansi 5G dan IoT. Tanpa perubahan sistemik, digitalisasi justru akan menjadi faktor akselerasi perubahan iklim. Zero-Carbon: Bukan Sekadar Pilihan, tapi Keharusan Gambar 2. Ilustrasi Pusat Data Bertenaga Surya atau Angin Sumber: Canva Untuk memutus paradoks ini, pendekatan zero-carbon dalam desain infrastruktur TIK menjadi keharusan. Ini mencakup upaya sistematis mengurangi emisi dari seluruh siklus hidup teknologi—dari produksi perangkat keras, pembangunan jaringan, hingga pengoperasian sistem digital kota. Beberapa strategi utama meliputi: Pemanfaatan Energi Terbarukan : Pusat data dan menara telekomunikasi harus mulai beroperasi dengan energi bersih seperti surya atau angin. Google dan Microsoft telah menjadi pionir dalam membangun green data center dengan efisiensi tinggi dan emisi nol bersih. Desain Hemat Energi : Edge computing dan komputasi awan dapat mengurangi kebutuhan infrastruktur besar yang boros energi. Di sisi lain, perangkat keras harus dirancang lebih efisien dan mudah didaur ulang untuk mengurangi limbah elektronik. Kebijakan Insentif dan Regulasi : Pemerintah dapat menerapkan standar keberlanjutan bagi penyedia layanan digital, termasuk pelaporan emisi, efisiensi daya perangkat, dan standar bahan baku ramah lingkungan. Inclusive by Design: Menjembatani Ketimpangan Digital Masalah keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tapi juga keadilan sosial. Infrastruktur telekomunikasi yang eksklusif akan memperdalam kesenjangan—baik antarwilayah maupun antar kelompok sosial. Pendekatan inclusive by design menuntut agar infrastruktur TIK sejak awal dirancang dengan memperhatikan hak, kebutuhan, dan keterbatasan semua kelompok masyarakat. Langkah-langkah yang bisa ditempuh meliputi: Pemerataan Akses Digital : Program perluasan jaringan ke daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) tidak bisa hanya menjadi jargon. Perlu ada investasi konkret dan kemitraan antara negara, swasta, dan komunitas lokal untuk membangun konektivitas dasar. Universal Design : Platform layanan publik digital harus ramah bagi semua kalangan—termasuk penyandang disabilitas, lansia, dan masyarakat dengan literasi digital rendah. Ini mencakup desain antarmuka yang inklusif, navigasi sederhana, dan fitur aksesibilitas. Literasi dan Partisipasi Digital : Literasi digital bukan hanya soal mengoperasikan gawai, tapi memahami hak digital, keamanan data, dan cara berpartisipasi dalam tata kelola kota digital. Program literasi harus disertai ruang partisipasi yang nyata bagi warga untuk menyuarakan kebutuhan dan kontrol atas teknologi kota. Belajar dari Dunia: Praktik Baik dan Relevansi untuk Indonesia Beberapa kota dunia sudah mulai menerapkan pendekatan zero-carbon dan inklusif dalam pengembangan smart city . Barcelona menerapkan prinsip tech sovereignty , memastikan data warga dikelola secara transparan dan inklusif, sembari mengurangi emisi dari infrastruktur digital melalui penggunaan energi terbarukan. Amsterdam mengembangkan ekosistem circular digital infrastructure , meminimalkan limbah elektronik dan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam setiap tahapan pengadaan teknologi kota. Indonesia memiliki peluang untuk mengambil pelajaran dan berinovasi sesuai konteks lokal. Dengan bonus demografi dan pertumbuhan infrastruktur digital yang pesat, Indonesia bisa menjadi pelopor smart city berbasis transisi energi dan keadilan digital—asal visi dan kebijakan diarahkan secara berani dan progresif. Penutup: Mewujudkan Kota yang Benar-Benar "Pintar" Gambar 3. Ilustrasi Sustainable Smart City Sumber: Canva Smart city sejati bukan hanya kota yang penuh sensor dan jaringan supercepat. Ia adalah kota yang cerdas secara ekologi , adil secara sosial , dan maju secara teknologi . Paradigma zero-carbon, inclusive by design adalah langkah menuju masa depan infrastruktur telekomunikasi yang benar-benar mendukung pembangunan kota berkelanjutan. Bukan sekadar mempermudah kehidupan sebagian, tetapi membangun masa depan untuk semua. Dengan kesadaran kritis, kebijakan berani, dan kolaborasi multisektor, kita dapat menghindari jebakan “kota pintar semu” dan benar-benar membangun kota yang pintar—secara utuh. Korespondensi Penulis Greeny Tria Clara / triaclarag@gmail.com Daftar Literatur: The Shift Project. (2019). Lean ICT: Towards digital sobriety . https://theshiftproject.org/en/article/lean-ict-our-new-report/ World Economic Forum. (2022). 5G outlook for South-East Asia . https://www.weforum.org/reports/5g-outlook-series-south-east-asia/ Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2023). Statistik akses internet wilayah 3T . https://www.kominfo.go.id International Energy Agency. (2022). Electricity information 2022 . https://www.iea.org/reports/electricity-information-2022 United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. (2021). Smart cities for all: Unlocking the potential of digital urban futures [Report]. https://www.unescap.org/resources/smart-cities-all-unlocking-potential-digital-urban-futures Google. (2023). Our data centers: Carbon-free by 2030 . https://sustainability.google/commitments/ Barcelona City Council. (2020). Barcelona digital city: A plan for technological sovereignty . https://ajuntament.barcelona.cat/digital/en/barcelona-digital-city Amsterdam Smart City. (2021). Circular digital infrastructure . https://amsterdamsmartcity.com International Telecommunication Union. (2022). Greening digital companies: Monitoring emissions and climate commitments . United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat). (2020). People-centered smart cities .

THE 4TH EARLY CAREER RESEARCHERS (ECR) TRANSPORT FORUM
🌍 Open Registration : ECR Transport Forum 2025 for Young Transport Researchers and Professionals 🚀 Ready to Be Part of the Future of Urban Mobility? Are you a graduate student or young professional interested in sustainable transportation and more inclusive cities? Register to join the 4th Early Career Researchers (ECR) Transport Forum 2025 , which will be held at Sebelas Maret University, Surakarta, on 30–31 August 2025. The Forum forms part of the lead-up to the EASTS 2025 Conference (1–4 September) and provides valuable opportunities for capacity building, mentoring and cross-country collaboration. 📌 About The Event 📍 Location : Sebelas Maret University, Surakarta (Solo), Indonesia 📅 Date : August 30–31, 2025 🌏 Before 16th EASTS Conference (1–4 September 2025) 🔗 Further Information about EASTS: https://easts.info/ds/ 🧭 Theme of 2025: HEALing Communities On this year, the forum's theme is HEALing Communities — referring to urban mobility solutions that: Healthier Equitable Accessible Liveable The Forum highlighted the importance of reducing reliance on private cars and expanding access to public transport, active mobility (walking, cycling), and inclusive systems. 🎯 Who can register? ✅ Masters or PhD students in transportation, urban planning, or related fields ✅ Young professionals with a maximum of 5 years of work experience in the transportation sector 📅 Information of registration 📅 Registration Deadline : Friday, June 20, 2025 🔗 Information and Form of Registration : https://bit.ly/43tQmLV ECR Forum : https://sites.google.com/view/walkability-transitions-ecr25/how-to-participate 🙌 Come on, Share This Opportunity! We encourage you to: Apply right now if you qualified! Share this info with your friends, colleagues, or relevant communities!

Pemetaan Cerdas dengan GIS-AHP: Menjawab Tantangan Konektivitas di Wilayah Terpencil Indonesia di Era Digital
Kesenjangan Digital di Tengah Akselerasi Teknologi Dalam era digital yang kian maju, keterjangkauan akses telekomunikasi menjadi salah satu indikator penting dalam menilai kemajuan pembangunan suatu bangsa. Namun realitas di lapangan menunjukkan masih terdapat kesenjangan signifikan antara wilayah-wilayah pusat kegiatan ekonomi dan kawasan Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) di Indonesia. Keterbatasan akses internet dan jaringan seluler pada daerah-daerah ini memunculkan tantangan multifaset, mulai dari terhambatnya proses pendidikan jarak jauh hingga terganggunya sistem pelayanan kesehatan yang kini semakin bergantung pada teknologi informasi. Di tengah kebutuhan yang terus meningkat, pendekatan perencanaan infrastruktur telekomunikasi harus didesain secara sistematis, berbasis data ilmiah, dan memperhatikan karakteristik lokal untuk menghasilkan solusi berkelanjutan. Gambar 1. SDG 9-C Terkait Target Peningkatan Akses Terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi Sumber: sdgs.ntut.edu.tw Kerangka global melalui Sustainable Development Goals (SDGs) secara eksplisit mengakui pentingnya infrastruktur digital sebagai landasan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Target SDG 9.c mendorong negara-negara untuk “secara signifikan meningkatkan akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi serta berusaha untuk menyediakan akses internet yang terjangkau di negara-negara kurang berkembang, paling tidak pada tahun 2020”. Meskipun batas tahun tersebut telah terlewati, target ini tetap relevan karena kesenjangan digital belum sepenuhnya tertangani, khususnya di negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki tantangan geografis luar biasa. Menurut data terbaru dari laporan SDG Indonesia yang diterbitkan oleh Bappenas, capaian terhadap indikator 9.c.1—yakni proporsi populasi yang memiliki akses terhadap jaringan internet dan layanan seluler yang andal—menunjukkan progres nasional yang positif secara agregat. Sekitar 93% wilayah Indonesia telah tercakup jaringan 4G hingga tahun 2023. Namun, angka ini menyamarkan disparitas spasial yang signifikan. Di beberapa wilayah terpencil seperti Pegunungan Bintang di Papua, Pulau Wetar di Maluku Barat Daya, atau kawasan perbatasan Kalimantan Utara, jaringan internet masih terbatas atau bahkan belum tersedia secara memadai. Kondisi geografis ekstrem, keterbatasan infrastruktur dasar, dan biaya logistik yang tinggi mengakibatkan keterlambatan pemerataan infrastruktur digital. Realitas ini mempertegas bahwa pencapaian target SDG 9.c tidak hanya dapat diukur dari rasio nasional semata, tetapi harus ditinjau melalui lensa pemerataan dan keadilan spasial. Ketika sebagian masyarakat di kota-kota besar telah menikmati layanan 5G dan ekosistem digital berbasis AI, sebagian lainnya di wilayah 3T masih bergantung pada sinyal lemah yang tidak mendukung komunikasi dasar, apalagi akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan daring. Akibatnya, perbedaan dalam kualitas hidup, peluang ekonomi, serta partisipasi sosial semakin melebar. Untuk mengatasi tantangan ini, pendekatan perencanaan pembangunan infrastruktur telekomunikasi harus ditransformasi dari model reaktif dan generik menjadi model yang prediktif, berbasis bukti, dan sensitif terhadap konteks lokal. GIS-AHP: Fondasi Ilmiah untuk Perencanaan Infrastruktur Berbasis Data Di antara berbagai pendekatan yang dikembangkan, integrasi antara Geographic Information System (GIS) dan Analytic Hierarchy Process (AHP) menjadi metode perencanaan yang tangguh dan adaptif. GIS memberikan kemampuan untuk mengelola dan menganalisis data spasial dengan resolusi tinggi, mencakup kondisi geografis, sebaran penduduk, infrastruktur eksisting, dan faktor lingkungan lainnya. Di mana hasilnya akan menjadi dasar dalam membangun peta prioritas yang menggambarkan daerah-daerah dengan kebutuhan konektivitas paling mendesak. Untuk memulainya, GIS dapat memetakan atribut-atribut lingkungan secara mendetail, mencakup kontur topografi, sebaran pemukiman, jaringan jalan, serta ketersediaan dan kualitas sumber energi listrik. Seluruh data spasial ini kemudian diolah dalam lingkungan perangkat lunak GIS untuk menghasilkan layer-layer peta yang menggambarkan kondisi fisik dan demografis wilayah. Selanjutnya, AHP berfungsi sebagai instrumen kuantitatif yang menimbang bobot kepentingan setiap variabel melalui perbandingan berpasangan, melibatkan keahlian teknis para insinyur telekomunikasi, perspektif lingkungan dari ahli konservasi, dan aspirasi masyarakat setempat. Hierarki kriteria yang dibangun dapat mencakup cakupan area layanan sinyal, kemudahan akses logistik, sensitivitas ekosistem, serta estimasi biaya operasional jangka panjang. Setelah bobot kriterial diperoleh, sistem menghitung skor komposit untuk setiap unit wilayah seluler; hasilnya divisualisasikan dalam peta prioritas yang memetakan zona kritis, menengah, dan wilayah dengan layanan yang sudah memadai. Gambar 2. Kerangka Alur Metode GIS-AHP untuk Perencanaan Infrastruktur BTS Sumber: mapid.co.id Implementasi kerangka GIS‑AHP di Kabupaten Boven Digoel, Papua, menjadi contoh nyata keunggulan metode ini. Kawasan tersebut terdiri atas hamparan hutan tropis yang lebat, aliran sungai besar, dan kondisi jalan Trans‑Papua yang sering tidak stabil akibat erosi atau longsor. Pendekatan konvensional yang berfokus pada estimasi kasar lokasi menara berdasarkan jarak antar‑BTS dan kepadatan permukiman ternyata kurang efektif dalam memetakan kebutuhan konektivitas yang sebenarnya. Dengan mengintegrasikan data aksesibilitas jalan, kelerengan kontur tanah, dan ketersediaan aliran listrik ke dalam matriks AHP, tim perencana berhasil memilih 15 lokasi strategis untuk menara 4G. Analisis peta prioritas menunjukkan pengurangan tumpang tindih sinyal hingga 25 % dibandingkan perencanaan sebelumnya dan penurunan biaya konstruksi sejauh 15 %, karena pilihan titik yang memanfaatkan infrastruktur pendukung eksisting. Pemetaan zonasi memberikan panduan jelas bagi pemangku kepentingan tentang urgensi intervensi: wilayah yang memerlukan penanganan segera, daerah yang memerlukan survei lapangan lanjutan, serta kawasan yang sudah cukup terlayani. Sementara itu, karakteristik geografis Kepulauan Riau, khususnya Pulau Rangsang di Provinsi Riau, menghadirkan tantangan berbeda yang menuntut penyesuaian kriteria dalam kerangka GIS‑AHP. Lingkungan maritim mengharuskan penambahan variabel ketahanan struktur terhadap korosi air asin, ketersediaan jalur transportasi laut untuk logistik, dan opsi backhaul melalui satelit. Ketika kriteria tersebut diintegrasikan, hasil peta prioritas menunjukkan solusi hibrida yang mengombinasikan menara mikrowave di daratan dengan jangkauan laut lepas, serta terminal satelit SATRIA‑1 di pulau-pulau terpencil. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kontinuitas layanan, tetapi juga memacu inovasi di bidang material anti-korosi dan teknik instalasi menara di lingkungan pesisir. Dukungan kebijakan publik melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) serta peluncuran Satelit Republik Indonesia‑1 (SATRIA‑1) telah memperkuat upaya penyediaan konektivitas di wilayah 3T. Program pembangunan ribuan unit BTS 4G di lokasi terpencil seperti Jayawijaya dan Aceh Singkil mengandalkan hasil analisis GIS‑AHP dan fasilitas backhaul satelit untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur darat. Keberhasilan ini menjadi buah kolaborasi stakeholder lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, operator swasta, hingga lembaga riset akademik, yang bersama-sama memvalidasi kriteria AHP melalui forum partisipatif. Proses tersebut memastikan peta spasial dirancang tidak hanya oleh ahli teknis, tetapi juga dengan mempertimbangkan aspirasi lokal serta nilai-nilai lingkungan. Pilar Strategis: Dari Gudang Data hingga Kemandirian Teknologi Lokal Gambar 3. Sosial Masyarakat Wilayah 3T Menuju Era Digital Sumber: oemahwebsite.com Agar perencanaan infrastruktur telekomunikasi di wilayah 3T benar‑benar berkelanjutan, keberadaan gudang data nasional yang terintegrasi menjadi prasyarat mutlak. Repositori terpadu ini akan memuat peta topografi resolusi tinggi, inventarisasi lengkap infrastruktur publik, indeks demografi yang sangat detail, serta data real‑time mengenai kondisi jaringan yang sedang dioperasikan. Dengan mekanisme pembaruan berkala—idealnya setiap dua tahun—data yang tersedia akan selalu akurat dan mencerminkan dinamika di lapangan, sehingga analisis spasial dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan keyakinan tinggi terhadap kualitas informasi. Menopang inisiatif tersebut, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di daerah melalui program pelatihan intensif GIS dan AHP akan memastikan keahlian teknis tidak terkonsentrasi di pihak eksternal. Staf Dinas Kominfo, tim lapangan BAKTI, dan personel operator seluler yang terlatih dalam pengolahan data spasial, penyusunan matriks perbandingan berpasangan, serta interpretasi peta prioritas akan mampu merancang dan menyesuaikan rencana pembangunan secara mandiri. Kemandirian semacam ini tidak hanya mempersingkat waktu implementasi, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan serta tanggung jawab kolektif terhadap hasil yang dicapai. Selanjutnya, pengembangan platform monitoring dan evaluasi daring akan menyediakan dashboard interaktif yang menampilkan progres pembangunan BTS, sebaran cakupan sinyal, hasil drive test kualitas layanan, dan umpan balik langsung dari pengguna. Dengan sistem yang bersifat adaptif, peta prioritas dapat direvisi secara dinamis begitu terdeteksi kendala lapangan—mulai dari kerusakan infrastruktur akibat bencana alam hingga pergeseran pola pemukiman—sehingga langkah korektif dapat diambil tanpa penundaan. Di samping itu, adopsi inovasi teknologi secara berkelanjutan akan menjadi penguatan lapisan konektivitas yang selama ini sulit dijangkau. Pemanfaatan UAV repeater untuk menjangkau lembah sempit atau lereng terjal, penggunaan material menara dengan ketahanan tinggi terhadap gempa dan cuaca ekstrem, serta integrasi satelit generasi baru dengan throughput lebih besar akan memperluas kemampuan backhaul. Kombinasi solusi ini memungkinkan penggunaan infrastruktur darat dan udara secara optimal, menjawab tantangan geografis yang selama ini membatasi perluasan jaringan di wilayah terluar dan terpencil. “Kolaborasi lintas pemangku kepentingan, didukung sistem monitoring real‑time dan inovasi teknologi seperti UAV repeater serta satelit generasi baru, meretas hambatan geografis untuk menjembatani kesenjangan konektivitas.” Dengan sinergi antara repositori data mutakhir, kapasitas manusia lokal yang terasah, sistem monitoring yang responsif, dan teknologi terkini, perencanaan infrastruktur telekomunikasi untuk wilayah 3T akan berjalan lebih efisien, adaptif, dan berdampak jangka panjang. Upaya ini menyatukan kecanggihan metode GIS‑AHP, dukungan satelit, dan kolaborasi multipihak, menjadikan target SDG 9.c bukan hanya sebagai agenda global, tetapi sebagai komitmen nyata untuk menjembatani ketimpangan digital dan mewujudkan transformasi pembangunan yang berkeadilan. Korespondensi Penulis Aji Wahyu Qan Dermawan / ajiwahyuqander@gmail.com Daftar Literatur: Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi. (2023). Pembangunan BTS 4G di wilayah 3T dan peluncuran Satelit SATRIA-1. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. https://www.bakti.kominfo.go.id Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2023). Laporan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) Indonesia tahun 2023. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. https://sdgs.bappenas.go.id Esri. (2020). GIS for telecommunications: Solving real-world infrastructure problems. Environmental Systems Research Institute. Fadillah, Ma’aruf Arief (2022). Pemerataan Infrastruktur Telekomunikasi pada Wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di Indonesia (Studi Kasus: Pulau Rangsang, Kabupaten Meranti). https://www.mapid.co.id Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2023). Statistik telekomunikasi Indonesia 2023. https://www.kominfo.go.id OpenStreetMap Foundation. (2023). Geospatial data for remote infrastructure planning. https://www.openstreetmap.org Saaty, T. L. (2008). Decision making with the Analytic Hierarchy Process. International Journal of Services Sciences, 1(1), 83–98. https://doi.org/10.1504/IJSSCI.2008.017590 United Nations. (2015). Goal 9: Build resilient infrastructure, promote inclusive and sustainable industrialization and foster innovation. UN Sustainable Development Goals. https://sdgs.un.org/goals/goal9 World Bank. (2022). Closing the connectivity gap: Digital development in Indonesia. The World Bank. https://www.worldbank.org

Konektivitas Setengah Hati
Gambar 1. Ilustrasi Anak Anak di Wilayah 3T Sumber : Kompas.com Janji pemerataan digital di Indonesia kerap menggema di ruang-ruang pidato dan dokumen perencanaan. Namun bagi jutaan warga di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), janji itu masih sebatas slogan. Konektivitas digital yang semestinya menjadi tulang punggung transformasi ekonomi dan pelayanan publik justru belum menyentuh banyak desa dan kampung di pinggiran Republik Indonesia tercinta ini. Infrastruktur Digital dan Ekonomi Pinggiran Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,36 persen dari total populasi. Namun, angka ini meningkat tajam di wilayah 3T, di mana tingkat kemiskinan rata-rata mencapai 17–23 persen, tergantung pada wilayah geografisnya. Di Papua, misalnya, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 26,03 persen, menjadikannya provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi nasional. Di sisi lain, Bank Dunia dalam laporan "Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class" (2020) mencatat bahwa kelas menengah di Indonesia tumbuh secara signifikan di wilayah urban, namun masih sangat terbatas di wilayah 3T. Kurangnya akses terhadap pendidikan bermutu, lapangan kerja formal, dan infrastruktur digital yang memadai menjadi penghambat utama. Rendahnya penetrasi konektivitas memperlemah potensi akselerasi ekonomi di wilayah 3T. Masyarakat yang seharusnya bisa naik kelas melalui digitalisasi UMKM dan akses informasi global, justru terjebak dalam sirkulasi ekonomi lokal yang sempit dan stagnan. Tanpa intervensi digital, kelas menengah di wilayah 3T hanya akan menjadi potensi yang tak pernah tumbuh. Di tengah akselerasi ekonomi digital, koneksi internet telah menjelma kebutuhan dasar. Penelitian World Bank (2022) menunjukkan bahwa setiap peningkatan 10 persen penetrasi internet dapat mendorong pertumbuhan PDB per kapita negara berkembang hingga 1,38 persen. Di Indonesia, inisiatif seperti "Desa Digital" menunjukkan dampak positif, dengan peningkatan pendapatan masyarakat hingga 14 persen dalam dua tahun. Namun, capaian ini masih bersifat sporadis dan belum menembus jantung ketimpangan. Gambar 2. Ilustrasi Infrastruktur Digital dan Ekonomi Pinggiran Sumber : Ilustrasi oleh Penulis UMKM di wilayah 3T kerap terhambat oleh keterbatasan jaringan. Akses ke pasar daring, layanan keuangan digital, hingga literasi teknologi masih jauh dari memadai. Tanpa internet, sebagai contoh pengusaha kecil di Nias atau Mahakam Hulu tetap terisolasi dari arus utama ekonomi nasional. Ketimpangan Anggaran dan Arah Kebijakan Anggaran negara masih didominasi sektor transportasi dan energi. Telekomunikasi, meski vital di era digital, tetap menjadi prioritas sekunder. Padahal, konektivitas digital bukan hanya pendukung pembangunan, tapi fondasi bagi efektivitas layanan publik, produktivitas ekonomi, dan partisipasi warga dalam demokrasi. Skema insentif fiskal untuk operator yang membangun jaringan di wilayah 3T masih minim. Padahal, pendekatan fiskal progresif dan kebijakan afirmatif bisa menjadi katalis penting. Pembentukan Dana Khusus Infrastruktur Digital (DAK-Digital), misalnya, dapat membantu pemerintah daerah menyusun kebijakan yang lebih kontekstual dan responsif. Antara Proyek Besar dan Realitas Lapangan Gambar 3. Ilustrasi Konektivitas Palapa Ring Sumber : Wikipedia.org Proyek Palapa Ring dan peluncuran satelit SATRIA-1 menandai komitmen pemerintah membangun konektivitas nasional. Palapa Ring menghubungkan ribuan kilometer serat optik, sementara SATRIA-1 ditargetkan menyuplai internet ke lebih dari 150 ribu titik layanan publik. Namun, proyek infrastruktur berskala besar tak otomatis menjamin akses yang merata. Banyak desa di Papua, Nusa Tenggara, dan pedalaman Kalimantan masih kesulitan mendapatkan sinyal stabil. Realitas ini menunjukkan adanya kesenjangan antara ambisi pembangunan dan tata kelola implementasi. Urbanisasi, Infrastruktur, dan Tantangan Pemerataan Gambar 4. Ilustrasi Infrastruktur di Jakarta Sumber: Unsplash Perkotaan tumbuh pesat. Menurut data BPS (2023), lebih dari 57 persen penduduk Indonesia kini tinggal di wilayah perkotaan, dan angka ini terus meningkat. Namun, pertumbuhan ini tidak selalu dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dasar, termasuk jaringan digital. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung terus berlomba dalam adopsi teknologi kota pintar ( smart city ), sementara kota lapis kedua dan ketiga tertinggal jauh dalam hal kapasitas fiskal maupun kesiapan SDM. Keterbatasan infrastruktur dasar seperti jaringan air bersih, transportasi publik, dan perumahan yang layak masih menjadi tantangan di banyak kota kecil. Ditambah dengan konektivitas digital yang belum merata, urbanisasi justru memperbesar beban wilayah perkotaan tanpa benar-benar meningkatkan kualitas hidup warga. Dalam konteks ini, smart city berisiko menjadi jargon kosong jika tidak disertai pemerataan infrastruktur antarwilayah. Gambar 5 . Kesenjangan akses internet antara wilayah perkotaan dan kabupaten tertinggal di Indonesia berdasarkan data LPEM FEB UI (2024) Sumber : Diolah oleh Penulis berdasarkan data LPEM FEB UI (2024) Studi LPEM FEB UI (2024) juga menunjukkan bahwa kota-kota dengan indeks konektivitas tinggi memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Namun ketimpangan akses internet antarkota dan desa masih mencolok: cakupan internet rumah tangga di kota besar mencapai 85 persen, sementara di kabupaten tertinggal hanya 27 persen. Angka ini menunjukkan urgensi integrasi antara pembangunan infrastruktur digital dan kebijakan tata kota yang berkeadilan. Ketika Smart City Tak Menyentuh Desa Gambar 6. Ilustrasi Program Smart City Sumber : Ilustrasi oleh Penulis Pemerintah menggaungkan program "100 Smart City" sebagai strategi digitalisasi tata kelola kota. Namun, relevansi konsep ini patut dipertanyakan ketika desa-desa belum bisa mengakses laman pemerintah karena sinyal tak memadai. Sementara kota-kota besar mulai membangun sistem layanan publik berbasis data, ratusan puskesmas di wilayah 3T masih bergantung pada pencatatan manual. Konektivitas digital yang timpang bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang narasi pembangunan: siapa yang dianggap prioritas? Jika desa terus tertinggal, maka transformasi digital hanya akan memperdalam ketimpangan struktural. Rekomendasi Kebijakan Gambar 7. Ilustrasi Pilar Pilar Implementasi Smart City Sumber : Indonesiabaik.id Untuk membalik ketimpangan ini, diperlukan intervensi kebijakan yang tegas dan terukur: Peraturan Presiden tentang percepatan pembangunan infrastruktur digital di wilayah 3T. Insentif fiskal bagi operator telekomunikasi yang memperluas layanan ke daerah terpencil. Alokasi Dana Khusus Infrastruktur Digital melalui DAK. Revisi UU Telekomunikasi yang mewajibkan perluasan jaringan ke wilayah 3T. Perda yang mensyaratkan integrasi digital dalam RPJMD daerah. Langkah-langkah ini bukan hanya teknis administratif, tapi juga bentuk keberpihakan pada keadilan pembangunan. Penutup Telekomunikasi adalah wajah baru dari kehadiran negara. Ketika sinyal internet belum hadir di banyak pelosok, maka negara belum benar-benar hadir di sana. Proyek besar dan narasi digitalisasi tak cukup jika tak menjawab kebutuhan mereka yang paling tertinggal. Pertanyaannya: sampai kapan konektivitas kita setengah hati? Korespondensi Penulis Yudistira Widi Pratomo / yudistiwp@gmail.com Daftar Literatur: Bappenas. (2023). Laporan Tahunan Pembangunan Desa Digital . Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI. Kominfo. (2023). Data Cakupan Akses Internet Desa 3T . Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Kominfo. (2024). Dampak Sosial Kehadiran Internet di Wilayah Terpencil: Studi Kasus Papua . Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. World Bank. (2022). Digital Economy for Development: How Internet Infrastructure Boosts Growth in Emerging Markets . World Bank Publications. Kementerian Dalam Negeri & Kominfo. (2023). Evaluasi Program 100 Smart City: Capaian dan Tantangan . Jakarta: Kemendagri. World Bank & LPEM FEB UI. (2025). Outlook Ekonomi Indonesia 2025 . Jakarta: LPEM FEB UI. Kementerian Keuangan. (2024). Outlook Belanja Infrastruktur APBN 2024 . Jakarta: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro.

Membangun Infrastruktur Telekomunikasi sebagai Katalisator Ekonomi Digital di Era Global
Gambar 1. Ilustrasi Ekonomi Digital Indonesia memiliki potensi besar untuk tumbuh dalam era ekonomi digital. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa saat ini, jumlah populasi penduduk Indonesia mencapai sekitar 270 juta orang, dengan lebih dari 78% populasi Indonesia telah memiliki akses internet dan jumlah pengguna internet aktif mencapai lebih dari 215 juta orang. Selain itu, pada tahun 2030 Indonesia juga akan mengalami puncak bonus demografi. Untuk itu, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk bersama-sama mengoptimalkan potensi ini guna memberikan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertama, menciptakan lapangan kerja baru dan peluang usaha yang luas. Dengan pertumbuhan pesat startup dan perusahaan teknologi di Indonesia memiliki potensi untuk menciptakan ribuan lapangan kerja yang akan memberikan generasi muda kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, ekonomi digital akan mempercepat transformasi sektor-sektor ekonomi. Adopsi teknologi digital dalam sektor ekonomi dan industri, seperti sektor manufaktur, pertanian, dan logistik berdampak pada meningkatnya produktivitas dan daya saing di pasar global. Hal ini akan membantu Indonesia menjadi pemain utama dalam perekonomian regional dan global. Ketiga, ekonomi digital akan membuka lebar pintu bagi inklusi finansial. Melalui layanan perbankan digital, penduduk yang sebelumnya tidak memiliki akses ke sistem perbankan tradisional akan mendapatkan akses yang lebih baik ke layanan keuangan. Hal ini dapat membantu masyarakat dalam mengelola keuangan dengan lebih baik, seperti melakukan investasi dan perencanaan masa depan. Pesatnya perkembangan teknologi, menjadikan perhatian utama kita semakin tertuju pada ekonomi digital. Ekonomi digital merupakan landasan penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Indonesia memiliki pondasi yang kokoh untuk meraih kesuksesan dalam era ekonomi digital, diantaranya dengan modal Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Ekonomi digital memiliki potensi yang besar untuk menjadi motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh guna mencegah fragmentasi dan meningkatkan koordinasi yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Pengembangan ekonomi digital bukan merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen strategis dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh, inklusif, dan berkelanjutan. Indonesia memiliki aspirasi untuk menduduki peringkat kelima negara dengan perekonomian terbesar dunia pada tahun 2045. Namun demikian, prospek perekonomian global ke depan penuh dengan ketidakpastian dan diproyeksikan mengalami penurunan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi global hanya sekitar 2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diperkirakan hanya akan mencapai sekitar 3%. Hal tersebut dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan dampak perubahan iklim. Untuk itu, guna mewujudkan Visi Indonesia 2045 diperlukan langkah yang luar biasa. Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% per tahun. Terobosan dalam pengembangan ekonomi digital dapat menjadi katalis dalam mencapai target pertumbuhan tersebut. Berbagai negara telah mengambil langkah proaktif dalam mendorong transformasi ekonomi digital dengan mengalokasikan semua sumber daya serta dipandu dengan strategi atau peta jalan pengembangan ekonomi digital yang jelas, komprehensif, dan terstruktur. Definisi ekonomi digital terus mengalami evolusi seiring berjalannya waktu, sejalan dengan perkembangan aktivitas ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, definisi ekonomi digital menjadi sangat bervariasi. Secara umum, ekonomi digital didefinisikan sebagai segala aktivitas ekonomi yang sangat bergantung dan/atau mengalami peningkatan signifikan melalui pemanfaatan berbagai unsur digital. Unsur-unsur tersebut mencakup teknologi digital, infrastruktur digital, layanan digital, serta data digital. Gambar 2. Ilustrasi Ekosistem Ekonomi Digital Lintas Sektor Nilai ekonomi digital Indonesia terus mengalami pertumbuhan . Pada tahun 2021, nilai ekonomi digital Indonesia diestimasi berkontribusi sebesar Rp1,490 Triliun dimana kontribusi industri digital mencapai 6.12% terhadap PDB. Ekonomi digital di Indonesia mencakup berbagai sektor yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan transaksi dan interaksi ekonomi yang meliputi: 1. E-commerce : Platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak memungkinkan penjual dan pembeli untuk bertransaksi secara online dan menghubungkan produsen lokal dengan pasar global; Akses perbankan digital dan belanja di e-commerce merupakan dua aktivitas ekonomi digital yang banyak ditemui. 2. Fintech : Layanan keuangan digital, seperti pembayaran online dan pinjaman online semakin popular; Contohnya adalah layanan pembayaran melalui e-wallet , QRIS, dan aplikasi mobile banking. 3. Transportasi Online : Aplikasi seperti Gojek dan Grab menyediakan layanan transportasi, pesan antar makanan, dan layanan lainnya yang didukung oleh teknologi digital. 4. Layanan Streaming: Platform streaming video dan music, seperti Netflix, Spotify , dan layanan streaming lokal semakin populer di Indonesia. 5. Pendidikan Online: Platform e-learning, seperti Coursera, Udemy , dan berbagai platform lokal menawarkan kursus dan pelatihan online yang dapat diakses secara digital. 6. Jasa Online: Akses jasa online, seperti konsultasi hukum, desain grafis, dan layanan digital lainnya melalui platform, seperti Upwork dan Fiver. 7. Pariwisata Digital: Promosi pariwisata melalui platform digital, seperti website dan media sosial, dapat menarik lebih banyak wisatawan ke Indonesia. 8. Sektor Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif: Melalui platform e-commerce , banyak produk hasil budaya dan kreativitas masyarakat lokal Indonesia diperjualbelikan. 9. Sektor Kesehatan: Telemedis, aplikasi kesehatan, dan layanan kesehatan digital lainnya semakin berkembang di Indonesia. 10. Sektor Pertanian: Penggunaan teknologi digital dalam pertanian, seperti aplikasi pertanian, drone untuk pemetaan lahan, dan sistem irigasi otomatis, dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. 11. Sektor Logistik: Penggunaan teknologi digital dalam logistik. Gambar 3. Ilustrasi Tantangan Ekonomi Digital Meski ekonomi digital telah menjadi bagian dari ekonomi masyarakat, terdapat sejumlah tantangan yang mesti diperhatikan, seperti: Kesenjangan Digital Tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi digital. Kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok ekonomi yang berbeda, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi digital secara menyeluruh. Perubahan Budaya Kerja Transformasi digital mengharuskan perubahan dalam budaya kerja. Budaya seperti jam kerja, lokasi kerja, hingga keterampilan kerja perlu diperhatikan. Perusahaan perlu memastikan bahwa karyawan memiliki kemampuan digital untuk beradaptasi dengan teknologi baru. Regulasi dan Kepatuhan Pemerintah harus mengembangkan regulasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi digital sambil melindungi kepentingan konsumen dan menjaga persaingan yang adil. Perusahaan juga harus mematuhi berbagai aturan dan regulasi yang berlaku di pasar digital. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dengan berkembangnya ekonomi digital, perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi semakin penting. Perusahaan harus memastikan bahwa inovasi dan produk mereka dilindungi dari pelanggaran hak cipta dan paten. Keamanan Data dan Privasi Salah satu tantangan terbesar dalam ekonomi digital adalah menjaga keamanan data dan privasi pengguna. Serangan siber, pencurian identitas, dan kebocoran data adalah ancaman yang harus diatasi oleh perusahaan dan pemerintah untuk melindungi informasi sensitif. Korespondensi Penulis: Isti Anisya / isti.anisy@gmail.com Daftar Literatur: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2023). Buku putih: Strategi nasional pengembangan ekonomi digital Indonesia 2030 . ASEAN Indonesia 2023. VIDA. (2023, 4 Agustus). Ekonomi Digital: Pengertian, Contoh, dan Tantangannya . https://vida.id/id/blog/ekonomi-digital

Digital Leap: Infrastruktur Telekomunikasi sebagai Lompatan Ekonomi di Era Industri 4.0
Gambar 1. Ilustrasi Pemodelan Infrastruktur di era Industri 4.0 Sumber : Subkhi Mashadi, 2024 Perubahan besar yang dibawa oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak hanya berdampak pada bagaimana individu berinteraksi, tetapi juga telah mendisrupsi model-model bisnis, pemerintahan, dan tatanan sosial secara menyeluruh. Revolusi digital telah mengaburkan batasan geografis dan waktu dalam proses pertukaran informasi, transaksi ekonomi, hingga pengambilan keputusan politik. Oleh karena itu, transformasi digital tidak bisa lagi dianggap sebagai isu sektoral, melainkan sebagai fondasi utama dari sistem pembangunan nasional yang modern dan berkelanjutan. Dalam konteks global, negara-negara yang mampu menempatkan TIK sebagai pilar strategis dalam kebijakan publik terbukti lebih resilien terhadap krisis, seperti terlihat dalam masa pandemi COVID-19, ketika layanan digital menjadi tulang punggung dalam menjaga fungsi pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Ketergantungan pada digitalisasi pun terus meningkat, menuntut negara untuk menyediakan infrastruktur telekomunikasi yang tidak hanya canggih, tetapi juga merata dan inklusif. Era Industri 4.0 menandai pergeseran besar dari ekonomi berbasis sumber daya alam dan tenaga kerja menuju ekonomi yang ditopang oleh inovasi dan efisiensi berbasis teknologi. Dalam era ini, otomatisasi melalui robotika, integrasi sistem melalui Internet of Things (IoT), serta kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menciptakan lanskap baru bagi industri, perdagangan, dan pelayanan publik. Namun, semua teknologi canggih tersebut tidak akan berfungsi optimal tanpa keberadaan infrastruktur digital yang solid. Jaringan internet berkecepatan tinggi, pusat data dengan kapasitas besar, serta jaringan seluler yang stabil menjadi prasyarat mutlak bagi operasionalisasi berbagai teknologi tersebut. Dengan demikian, infrastruktur telekomunikasi kini bukan lagi penunjang, tetapi justru menjadi prasyarat transformasi industri dan pemerintahan. Sebuah negara yang berhasil mengintegrasikan infrastruktur digital ke dalam sistem produksi dan layanan publiknya akan mampu menciptakan nilai tambah ekonomi yang signifikan, sekaligus mempercepat pertumbuhan sektor digital seperti e-commerce, edutech, healthtech, dan fintech yang kini menjadi penopang ekonomi masa depan. Di sisi lain, negara-negara yang masih memandang infrastruktur digital sebagai pelengkap atau kebutuhan tersier justru berisiko menghadapi stagnasi pertumbuhan ekonomi dan keterisolasian dari arus global. Ketertinggalan dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi bukan hanya menciptakan kesenjangan digital (digital divide), tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketiadaan konektivitas digital menghambat masyarakat di daerah terpencil untuk mengakses layanan pendidikan daring, fasilitas kesehatan berbasis telemedisin, atau bahkan informasi pasar yang mendukung produktivitas pertanian dan UMKM lokal. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat melemahkan daya saing nasional dan memperbesar beban negara dalam mengatasi ketimpangan wilayah. Oleh karena itu, strategi pembangunan nasional yang visioner seharusnya menempatkan infrastruktur digital dalam posisi yang setara dengan infrastruktur fisik konvensional seperti jalan tol, pelabuhan, dan energi. Ketiganya kini saling terhubung dan saling menguatkan dalam menciptakan ekosistem pembangunan yang berdaya saing tinggi dan tahan terhadap disrupsi teknologi. Mengapa Infrastruktur Telekomunikasi Krusial di Era Industri 4.0? Era Industri 4.0 telah secara fundamental merevolusi struktur ekonomi global dengan menggeser penekanan dari tenaga kerja murah dan eksploitasi sumber daya alam menuju ekonomi berbasis pengetahuan, data, dan inovasi teknologi. Dalam kerangka ini, teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), blockchain, dan komputasi awan berperan penting dalam menciptakan sistem produksi dan layanan publik yang efisien, responsif, dan adaptif terhadap perubahan pasar. Namun, semua potensi itu tidak akan pernah tercapai tanpa keberadaan infrastruktur telekomunikasi yang mumpuni, yang mampu menyediakan konektivitas cepat, stabil, dan menjangkau seluruh wilayah. Menurut Baldwin (2019), transformasi digital yang digadang-gadang sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru akan kehilangan relevansi jika tidak didukung oleh konektivitas digital yang luas dan berkualitas. Inilah sebabnya mengapa pembangunan infrastruktur digital bukan lagi pilihan, tetapi suatu keharusan strategis bagi negara yang ingin mempertahankan daya saingnya dalam perekonomian global yang semakin terdigitalisasi. Selain sebagai fondasi teknologis, infrastruktur telekomunikasi juga memiliki dimensi sosial yang kuat, khususnya dalam membuka akses terhadap peluang ekonomi dan layanan publik yang sebelumnya sulit dijangkau. Akses internet yang merata membuka ruang bagi masyarakat di daerah terpencil untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital, mengakses pendidikan daring, dan mendapatkan layanan kesehatan melalui platform digital. Misalnya, kehadiran platform e-commerce telah menghubungkan pelaku UMKM dengan pasar nasional maupun global, sementara fintech mempermudah akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang sebelumnya terbatas oleh infrastruktur perbankan konvensional (World Bank, 2021). Namun, ketimpangan akses digital antarwilayah dan antar kelompok sosial juga menimbulkan ancaman baru berupa kesenjangan digital (digital divide), yang berpotensi memperdalam ketimpangan sosial-ekonomi. OECD (2020) menekankan bahwa ketimpangan digital kini menjadi salah satu bentuk ketidaksetaraan modern yang harus diatasi secara sistematis melalui investasi negara dan reformasi kebijakan. Oleh karena itu, infrastruktur digital harus diperlakukan sebagai bagian integral dari hak atas pembangunan dan bukan semata proyek teknologi. Dalam konteks kebijakan publik, pendekatan parsial terhadap pembangunan infrastruktur telekomunikasi harus segera ditinggalkan. Negara perlu hadir tidak hanya sebagai fasilitator pembangunan digital melalui regulasi dan insentif investasi, tetapi juga sebagai pemimpin dalam mengarahkan transformasi digital ke arah yang inklusif dan berkelanjutan. Negara-negara seperti Korea Selatan, Finlandia, dan Estonia menunjukkan bahwa strategi digital nasional yang terintegrasi mampu menghasilkan pemerintahan yang lebih efisien, ekonomi yang lebih tangguh, serta masyarakat yang lebih partisipatif (UNCTAD, 2021). Di Indonesia, upaya pengembangan jaringan Palapa Ring dan penyusunan peta jalan digitalisasi nasional telah menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengembangkan konektivitas digital hingga ke pelosok negeri. Namun, tantangan seperti keterbatasan kapasitas SDM digital, keterjangkauan perangkat, dan kualitas jaringan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih memerlukan pendekatan lintas sektor dan keberlanjutan anggaran negara. Integrasi kebijakan pembangunan digital ke dalam agenda nasional bukan hanya soal ekonomi digital semata, melainkan menyangkut bagaimana teknologi dapat memperkuat keadilan sosial dan demokratisasi akses dalam kehidupan masyarakat. Studi Kasus: Indonesia dan Upaya Membangun Jalan Tol Digital Gambar 2. Roadmap Strategi Pengembangan Industri 4.0 dan Sektor Prioritas berdasarkan Prioritas Nasional (PN) Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/ Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang menunjukkan keseriusan dalam membangun infrastruktur digital sebagai bagian integral dari strategi pembangunan nasional. Komitmen ini tidak hanya tercermin dari berbagai kebijakan pemerintah, tetapi juga dari realisasi proyek strategis seperti Palapa Ring yang menjangkau seluruh wilayah nusantara. Dengan geografis kepulauan yang luas dan beragam, tantangan konektivitas digital selama ini menjadi hambatan utama dalam distribusi informasi, integrasi pasar, dan efisiensi layanan publik, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Palapa Ring, yang dijuluki sebagai “jalan tol informasi,” telah membentangkan lebih dari 35.000 kilometer jaringan serat optik yang menghubungkan 514 kota dan kabupaten di Indonesia (Kementerian Kominfo, 2020). Hasilnya, harga layanan internet yang sebelumnya tinggi mulai menurun di daerah-daerah terpencil, serta memungkinkan munculnya layanan digital yang sebelumnya sulit diakses oleh masyarakat. Selain Palapa Ring, Indonesia juga telah melangkah lebih jauh dengan memulai peluncuran jaringan 5G sejak tahun 2021, yang menjangkau beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Teknologi ini membuka peluang besar bagi adopsi sistem kota pintar (smart city), pengembangan industri manufaktur berbasis otomasi dan AI, serta sistem transportasi berbasis digital. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, jaringan 5G akan menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia, khususnya dalam meningkatkan produktivitas industri dan mempercepat layanan publik berbasis data (Kominfo, 2021). Tantangan implementasi memang masih ada, seperti keterbatasan infrastruktur pendukung di luar wilayah perkotaan dan isu keamanan data. Namun, komitmen untuk memperluas 5G secara bertahap memperlihatkan arah pembangunan digital nasional yang visioner dan adaptif terhadap teknologi global. Secara kebijakan, pemerintah juga telah merancang peta jalan nasional melalui Masterplan Percepatan Transformasi Digital Nasional 2021–2024, yang menjadi landasan integrasi digital di berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, pemerintahan, dan logistik. Salah satu program unggulan, Gerakan 100 Smart City, mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan ekosistem kota berbasis digital, yang didukung oleh data terbuka, teknologi sensor, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan (Bappenas, 2022). Dalam visi ini, transformasi digital tidak hanya ditujukan untuk mempercepat layanan, tetapi juga untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan partisipatif. Hal ini sejalan dengan tren global, di mana digitalisasi telah menjadi alat penting dalam menciptakan tata kelola yang lebih responsif dan efisien (UN ESCAP, 2021). Penting untuk dicatat bahwa pembangunan infrastruktur digital di Indonesia bukan semata investasi teknologi, melainkan juga merupakan strategi pemberdayaan ekonomi rakyat. Dengan tersedianya konektivitas yang andal, masyarakat di pedesaan kini dapat mengakses platform e-commerce untuk menjual hasil pertanian, bergabung dalam pelatihan daring untuk meningkatkan keterampilan, atau mengakses layanan keuangan digital (fintech) tanpa harus bergantung pada bank konvensional. Transformasi ini membuka jalur pertumbuhan ekonomi baru yang lebih inklusif, khususnya di luar sektor-sektor konvensional yang selama ini mendominasi. Meskipun masih banyak tantangan dalam hal literasi digital, kecepatan jaringan, dan perlindungan data, arah kebijakan pembangunan menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya sedang membangun infrastruktur digital, tetapi juga sedang menata ulang struktur sosial-ekonomi berbasis teknologi masa depan. Dengan terus memperluas jangkauan dan kualitas infrastruktur digital, Indonesia berpotensi menjadikan ekonomi digital sebagai tulang punggung pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan. Tantangan dan Peluang Walaupun kemajuan infrastruktur digital di Indonesia cukup signifikan, berbagai tantangan masih membayangi keberhasilan jangka panjangnya. Salah satu tantangan utama adalah ketimpangan akses antarwilayah, terutama antara kawasan barat dan timur Indonesia. Data dari BPS (2023) menunjukkan bahwa hanya 52,3% rumah tangga di wilayah Indonesia Timur yang memiliki akses internet, dibandingkan dengan lebih dari 80% di wilayah barat. Selain itu, kualitas sumber daya manusia digital masih menjadi hambatan struktural dalam mewujudkan ekonomi digital inklusif. Masih rendahnya tingkat literasi digital, keterampilan teknologi, dan akses terhadap pendidikan vokasi digital menyebabkan banyak masyarakat tidak mampu memanfaatkan infrastruktur yang tersedia secara optimal. Di sisi lain, ancaman keamanan siber juga semakin nyata seiring meningkatnya penggunaan layanan digital. Kebocoran data pribadi, peretasan sistem pemerintahan, dan penipuan daring menjadi isu krusial yang harus ditangani melalui regulasi dan kesadaran publik yang lebih kuat (Kementerian PANRB, 2023). Meskipun tantangan tersebut kompleks, peluang ekonomi digital di Indonesia sangat besar dan menjanjikan. Dengan jumlah pengguna internet yang melebihi 220 juta orang dan penetrasi digital yang terus meningkat, Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat potensial. Laporan Google-Temasek-Bain (2023) memperkirakan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai USD 130 miliar pada 2025, menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara. Bonus demografi yang dimiliki Indonesia—yakni dominasi penduduk usia produktif—juga memberikan keunggulan kompetitif dalam membangun ekosistem startup dan ekonomi kreatif. Transformasi digital, jika dikawal dengan kebijakan yang responsif dan partisipasi multi-pemangku kepentingan, akan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. “ Infrastruktur telekomunikasi di era Industri 4.0 adalah jalan tol menuju ekonomi digital yang inklusif, efisien, dan kompetitif, membuka peluang bagi semua lapisan masyarakat untuk berinovasi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan” Pembangunan infrastruktur telekomunikasi di era Industri 4.0 telah menjadi faktor penentu dalam mewujudkan transformasi digital yang menyeluruh. Dalam konteks globalisasi dan digitalisasi yang tak terelakkan, negara yang mampu mengembangkan infrastruktur digital secara cepat dan merata akan lebih siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang ekonomi baru. Indonesia telah menunjukkan langkah awal yang progresif melalui proyek-proyek nasional seperti Palapa Ring dan pengembangan jaringan 5G. Namun, pembangunan infrastruktur fisik perlu disertai dengan strategi penguatan kapasitas manusia, penyusunan regulasi yang adaptif, dan pembentukan ekosistem digital yang aman, inklusif, dan berdaya saing. Transformasi digital bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga tentang keadilan, tata kelola, dan masa depan yang lebih berdaya. Langkah ke depan menuntut sinergi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat untuk menjadikan infrastruktur telekomunikasi sebagai fondasi kemajuan bersama. Dengan kebijakan yang visioner dan implementasi yang konsisten, Indonesia memiliki potensi untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga menjadi produsen inovasi digital yang disegani di kawasan dan dunia. Lompatan digital bukan lagi mimpi, melainkan suatu keniscayaan yang dapat dicapai bila pembangunan dilakukan secara inklusif, strategis, dan berorientasi masa depan. Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus / firdausdanoe@gmail.com Daftar Literatur Baldwin, R. (2019). The Globotics Upheaval: Globalization, Robotics, and the Future of Work . Oxford University Press. Bappenas. (2022). Laporan Program Gerakan 100 Smart City . Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. BPS (Badan Pusat Statistik). (2023). Statistik Telekomunikasi Indonesia 2023 . Jakarta: BPS. Google, Temasek, & Bain & Company. (2023). e-Conomy SEA 2023: Reaching New Heights . Retrieved from https://economysea.withgoogle.com Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). (2020). Proyek Palapa Ring: Akselerasi Infrastruktur Telekomunikasi Nasional . Jakarta: Kominfo. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). (2021). Strategi Nasional 5G untuk Ekonomi Digital Indonesia . Jakarta: Kominfo. Kementerian PANRB. (2023). Laporan Keamanan Siber dan Transformasi Digital di Layanan Publik . Jakarta: Kementerian PANRB. OECD. (2020). Bridging the Digital Divide: Include, Upskill, Innovate . OECD Publishing. Retrieved from https://www.oecd.org UNCTAD. (2021). Technology and Innovation Report 2021: Catching Technological Waves . United Nations Conference on Trade and Development. UN ESCAP. (2021). Digital Government for Sustainable Development in Asia and the Pacific . United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. World Bank. (2021). World Development Report 2021: Data for Better Lives . Washington, DC: World Bank.
